Telegrafi |
Dalam lima tahun ke depan, pemerintah berfokus, antara lain, pada upaya menciptakan sumber daya manusia unggul. Langkah-langkah diarahkan khususnya pada upaya peningkatan akses warga miskin untuk mendapatkan bantuan pendidikan. Upaya ini dituangkan melalui Program Indonesia Pintar. Selain itu, pemerintah juga berupaya mempercepat pelaksanaan wajib belajar 12 tahun.
Fokus pemerintah untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul sejalan dengan problem di tengah masyarakat Indonesia. Upaya mewujudkan SDM yang berkualitas menjadi keniscayaan untuk mempercepat pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Karakter kemiskinan
Seperti dilansir Litbang KOMPAS, Sampai dengan tahun lalu, tercatat 9,41 persen dari seluruh penduduk di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan kesenjangan persentase penduduk miskin yang kian melebar antara wilayah kota dan desa. Tahun 2008, penduduk miskin di kota dan desa masing-masing 11,65 persen dan 18,93 persen. Tahun 2017, penduduk miskin di kota menurun signifikan menjadi 7,26 persen, sementara di desa 13,47 persen.
Kemiskinan tersebut tak hanya identik dengan wilayah-wilayah di luar Jawa. Sejumlah provinsi di Pulau Jawa juga masih mencatat angka kemiskinan di atas rata-rata nasional. Tahun 2019, sebanyak 16 provinsi menunjukkan profil kemiskinan melampaui angka nasional. Ada tiga provinsi di Pulau Jawa dan empat provinsi di Pulau Sumatera yang memiliki persentase kemiskinan di atas persentase nasional.
Di wilayah tengah Indonesia, ada dua provinsi di kawasan Nusa Tenggara dengan persentase kemiskinan di atas angka persentase nasional. Di kawasan Indonesia timur, ada 1 provinsi di Maluku, 4 di Sulawesi, dan 2 provinsi di Pulau Papua. Persentase kemiskinan di 16 provinsi berada pada rentang 10,37 persen hingga tertinggi 27,53 persen.
Sementara di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah masih mencatat persentase penduduk miskin di atas rata-rata nasional, yakni 10,8 persen. DI Yogyakarta juga mencatat persentase penduduk miskin di atas rata-rata nasional, yakni 11,7 persen.
Andil ekonomi
Tingginya kemiskinan di sejumlah provinsi dapat dipahami dengan menelaah profil kelompok penduduk miskin lebih jauh. Secara keseluruhan, penduduk miskin identik dengan akses pekerjaan dengan keterampilan (skill) rendah yang cenderung mengandalkan kemampuan fisik. Data mutakhir dari Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukkan, hampir separuh penduduk miskin mengandalkan sumber penghasilan utama pada sektor tradable, yakni pertanian.
Merujuk definisinya, sektor tradable adalah sektor penghasil barang. Karena merupakan penghasil barang, sektor ini umumnya diperdagangkan dan menghasilkan devisa. Dalam produk domestik regional bruto (PDB), sektor tradable meliputi pertanian, pertambangan dan penggalian, serta sektor industri manufaktur. Bidang lainnya di dalam struktur PDB masuk ke dalam sektor non-tradable.
Kelompok penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian ini belum tentu berstatus sebagai petani pemilik lahan. Artinya, tidak tertutup kemungkinan sebagian dari mereka adalah petani buruh atau penggarap.
Pada sisi lain, struktur perekonomian nasional semakin bergeser ke arah sektor non-tradable selama paling tidak satu dasawarsa terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2008, proporsi sektor tradable dan non-tradable 53,23 persen dan 46,76 persen. Tahun lalu, proporsi sektor tradable di PDB tinggal 39,99 persen, sedangkan sektor non-tradable menjadi 60,01 persen.
Secara lebih terinci, andil sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam PDB tahun lalu tinggal 13,45 persen. Pada tahun 2008, kontribusi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan masih sekitar 15 persen dari PDB. Proporsi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada tahun lalu lebih rendah daripada sejumlah sektor, seperti perdagangan serta penyediaan akomodasi dan makan-minum. Andil dari dua sektor pendukung jasa pariwisata tersebut tercatat 15,75 persen.
Lebih kurang 7 persen penduduk miskin lain juga bekerja di sektor industri. Sektor ini juga menunjukkan kecenderungan meredup. Tahun lalu, sumbangan industri pengolahan dalam perekonomian nasional tidak sampai seperlima dari PDB. Padahal, tahun 2008, kontribusi industri pengolahan dalam perekonomian masih hampir sepertiga dari PDB.
Lingkaran kemiskinan
Sumber daya penduduk miskin condong ke sektor tradable. Pada saat yang sama, terjadi pergeseran struktur ekonomi yang semakin mengarah ke pekerjaan di sektor non-tradable, seperti jasa dan perdagangan. Perbedaan ini tentu saja menjadi persoalan yang tidak mudah dalam konteks membangun SDM unggul.
Publikasi BPS menunjukkan, lebih kurang 14,38 persen penduduk miskin berstatus tidak bekerja. Mereka yang berada pada kelompok ini boleh jadi telah berusia lanjut. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari mereka yang berstatus tidak bekerja adalah penduduk miskin berusia produktif. Mereka masih mampu berkontribusi dalam pembangunan, tetapi memiliki kelemahan dalam mengakses lapangan kerja.
Lemahnya kemampuan penduduk miskin dalam memenangi persaingan pekerjaan tak lepas dari faktor pendidikan. Tak bisa dimungkiri, penduduk miskin identik dengan pendidikan rendah. Sebanyak 88 persen dari total penduduk miskin berpendidikan di bawah SMP atau bahkan tidak menamatkan SD. Pendidikan merupakan salah satu faktor krusial dalam meraih kesempatan kerja karena terkait erat dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam berbagai bidang pekerjaan. Kondisi ini kait-mengait sehingga membentuk lingkaran kemiskinan.
Rendahnya pendidikan memengaruhi keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja. Akibatnya, kesempatan kerja yang tersedia hanya di sektor-sektor yang lebih mengandalkan kemampuan fisik, seperti buruh kasar di beberapa industri. Pekerjaan tersebut berbanding lurus dengan tingkat penghasilan yang rendah. Pendapatan yang diterima penduduk miskin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten, tak memungkinkan mengakses pendidikan yang lebih baik. Kesempatan mengakses pendidikan tinggi belum tentu melepaskan mereka dari jerat kemiskinan.
Rendahnya keterampilan berujung pada peluang yang minim bagi penduduk miskin untuk mengakses lapangan pekerjaan. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang menjadi miskin dan semakin miskin lantaran semakin jauh dari peluang untuk diterima di pekerjaan yang lebih baik.
Selain itu, kemiskinan juga mengakibatkan masyarakat menghadapi kendala, khususnya modal, untuk membuka usaha sendiri. Kecenderungan demikian bisa terjadi mengingat ada pula penduduk miskin yang berpendidikan tinggi.
Data BPS termutakhir pada tahun 2017 menunjukkan, ada 0,73 persen penduduk miskin yang berpendidikan tinggi. Tak tertutup kemungkinan, mereka belum mendapat kesempatan di pekerjaan formal, tetapi juga tak memiliki modal untuk menjadi wirausaha.
Berhadapan dengan kelompok masyarakat miskin dengan sejumlah karakteristiknya boleh jadi memerlukan pendekatan yang berbeda. Bagi penduduk miskin, kesempatan mengakses pendidikan tinggi belum tentu melepaskan mereka dari jerat kemiskinan. Dengan kata lain, pendidikan formal yang tinggi agaknya tak menjadi satu-satunya solusi membangun SDM unggul di masa mendatang.
Social Footer