Breaking News

Wariga Bayan: Kearifan Lokal Tahan Bencana

Sambangdesa.com - Di tengah gempuran teknologi dan aplikasi cuaca canggih, masyarakat adat Bayan di Lombok Utara tetap setia pada tradisi lama: membaca alam. Tanpa smartphone atau layanan cuaca premium, komunitas ini mengandalkan pengamatan bintang, pola angin, hingga perilaku hewan untuk memahami perubahan musim dan cuaca. Pengetahuan turun-temurun ini terwujud dalam sistem "Wariga", penanggalan tradisional yang telah menjadi inti kehidupan budaya Sasak, khususnya di kalangan suku Bayan.

Wariga bukan sekadar kalender—ia adalah kombinasi rumit antara astronomi, meteorologi lokal, dan pengamatan fenomena alam. Sistem ini menggunakan siklus waktu delapan tahun (windu), yang terbagi dalam 30 wuku (minggu) dan 12 bulan. Setelah satu siklus selesai, perhitungan kembali ke awal, memastikan penyesuaian yang berkelanjutan dengan dinamika alam.

Maestro Wariga, biasanya seorang tetua adat, adalah sosok yang ahli dalam membaca sistem ini. Dengan alat khusus bernama "telok"—papan kayu berukir rumus dan bulatan angka—mereka menentukan tahun, bulan, dan hari terbaik untuk berbagai aktivitas.

Dalam Wariga, Bintang Kartika (rasi Pleiades), yang dikenal sebagai “Lintang Guru”, menjadi penanda perubahan musim. Kemunculan Lintang Guru di ufuk timur pada April-Mei menandai awal kemarau dan musim panen, sedangkan posisinya di puncak langit pada Juli-Agustus menandakan puncak musim kering.

Selain bintang, masyarakat Bayan mengamati tanda-tanda alam lain, seperti mekarnya bunga tertentu, migrasi burung, atau kemunculan laron yang meramalkan turunnya hujan dalam waktu 24-48 jam. Wariga juga menentukan waktu baik (ala ayu), waktu kurang baik (ala lintang, ala becik, ala pati), dan waktu kosong (mengkem) untuk beragam aktivitas—mulai dari bertani hingga melaut.

Bukan hanya pengetahuan cuaca, masyarakat Bayan juga dikenal dengan arsitektur Bale Bayan—rumah adat tahan gempa. Struktur rumah ini dirancang secara tradisional untuk menghadapi risiko gempa bumi yang kerap melanda Lombok. Pondasi menggunakan umpak (batu pijakan), dengan tiang kayu lentur tanpa paku, memungkinkan bangunan mengikuti gerakan tanah saat gempa. Dinding dari anyaman bambu dan atap alang-alang menjadikan rumah ini ringan sekaligus tangguh.

Keunggulan teknik ini terbukti saat gempa Lombok 2018, di mana sebagian besar rumah adat Bayan tetap berdiri kokoh, sementara banyak bangunan modern mengalami kerusakan parah. Desain Bale Bayan merupakan hasil pembelajaran dari generasi ke generasi, bukan sekadar inovasi teknik modern.

Kearifan lokal Bayan juga tercermin dalam sistem pengelolaan hutan yang dikenal sebagai awiq-awiq. Hukum adat ini membagi kawasan hutan menjadi tiga zona: konservasi ketat (hutan sakral), zona penyangga dengan akses terbatas, dan zona produksi berbasis agroforestri. Model ini terbukti efektif menjaga keberlanjutan ekosistem, jauh sebelum konsep ekosistem modern diperkenalkan.

Negara lain telah lebih dulu mengintegrasikan pengetahuan adat dalam kebijakan lingkungan. Di Australia, praktik pengelolaan lahan tradisional suku Aborigin kini menjadi bagian penting strategi pencegahan kebakaran hutan. Studi di Australia Barat (2024) mencatat penurunan frekuensi kebakaran hingga 42% di area seluas 11,7 juta hektare berkat peran masyarakat adat.

Di Nepal, kalender pertanian tradisional Tharu dikombinasikan dengan data meteorologi modern untuk meningkatkan akurasi prakiraan cuaca bagi petani. Sementara Selandia Baru memberi ruang setara bagi komunitas Māori dalam pengambilan keputusan kebijakan iklim.

Ironisnya, di Indonesia—negeri yang kaya akan kearifan lokal—pengetahuan dan hak masyarakat adat belum mendapat pengakuan memadai. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat telah lebih dari satu dekade belum disahkan. Dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), kearifan lokal hanya disebut sekilas sebagai praktik baik, tanpa pengakuan wilayah adat sebagai fondasi ketahanan iklim nasional.

Padahal, pengelolaan hutan dan lahan berbasis sistem adat telah terbukti menjadi sistem adaptasi paling efektif dan berkelanjutan.

Pengetahuan Wariga, arsitektur Bale Bayan, dan sistem awiq-awiq bukan sekadar warisan budaya, tetapi solusi nyata menghadapi bencana dan perubahan iklim. Kearifan lokal ini telah teruji lintas generasi, menjadikan masyarakat Bayan adaptif dan tangguh.

Di tengah upaya global mencari solusi iklim, sudah saatnya Indonesia mengakui dan memanfaatkan pengetahuan adat sebagai bagian integral strategi pembangunan berkelanjutan. Mungkin ini saatnya kita bertanya: sudahkah kita benar-benar mendengarkan suara kearifan lokal yang telah menjaga bumi sejak dahulu?

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close