Breaking News

Masa Depan Adat dan IKN

Ibu Kota, IKN, Adat, Kalimantan, Dayak
(Sumber: Kompas.com)
Sambangdesa.com - Pembangunan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi perhatian khusus pada masalah keasrian lingkungan sekitan proyek tersebut. Masyarakat adat sangat hati-hati jikalau pembanguan tersebut memiliki dampak yang cukup serius di masa yang akan datang.

Kepala Adat Masyarakat Dayak Balik Sepaku Lama, menuturkan dalam enam bulan terakhir melihat sedikitnya 20 rumah di bantaran Sungai Sepaku dirobohkan. Dari penjelasan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara kepadanya, permukiman yang ada di bantaran sungai mesti digusur untuk kebutuhan normalisasi Sungai Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tujuannya menjamin wilayah ibu kota baru tak terendam banjir.

Warga RT 03 Kelurahan Sepaku itu tak memungkiri bahwa banjir kerap melanda wilayahnya. Hal ini terjadi akibat penggundulan hutan oleh korporasi industri kayu di hulu hingga merusak daerah aliran sungai selama bertahun-tahun. Banjir memang melanda, tapi dua atau tiga tahun sekali. 

Hampir dipastikan seluruh wilayah di Kelurahan Sepaku, Kelurahan Pemaluan, Desa Bukit Raya, dan Desa Binuang yang ada di sepanjang Sungai Sepaku bakal tenggelam. Padahal wilayah-wilayah tersebut disiapkan sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN Nusantara. Menurut dia, banjir yang kini kerap melanda terjadi akibat kawasan resapan air berkurang dan Sungai Sepaku mengalami pendangkalan akibat sedimentasi.

Otorita lantas memberlakukan pengerukan Sungai Sepaku. Mereka juga disebut memperlebar sempadan kali dengan pengerukan dan penguatan tanggul. Masalahnya, normalisasi dilakukan dengan menggusur rumah masyarakat adat Dayak Balik Sepaku Lama, bahkan tanpa sosialisasi dan ganti rugi.

Memang, masalah banjir di IKN Nusantara tak bisa dituntaskan dengan sekadar normalisasi sungai. Dia mengatakan banjir yang melanda kawasan Sepaku disebabkan oleh praktik industri ekstraktif yang mengubah lanskap hutan dan lahan di wilayah hulu ibu kota negara. 

Industri ekstraktif yang dimaksudkan adalah  83 perusahaan tambang yang ada di hulu sungai atau yang berada di IKN Nusantara. Belum lagi ditambah 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan empat korporasi di bidang kehutanan. 

Banjir semakin parah karena munculnya pembangunan bendungan dan intake atau saluran air bersih untuk menyuplai IKN Nusantara. Aktivitas pembangunan dua proyek raksasa ini mengakibatkan 14 ribu hektare hutan dan lahan rusak dalam kurun enam bulan terakhir. Masalah ini disinyalir menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh wilayah Kecamatan Sepaku pada Maret lalu. Banjir meluas hingga menggenangi 220,8 ribu hektare atau beberapa kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengerjakan dua proyek raksasa untuk menyuplai kebutuhan air bersih IKN Nusantara sejak 2021. Dua proyek tersebut adalah Bendungan Sepaku-Semoi dan intake Sungai Sepaku. Nantinya pemerintah bakal menyiapkan sejumlah pompa air yang dapat mengalirkan air bersih dari bendungan melalui intake menuju wilayah IKN Nusantara. Kapasitas pompa diprediksi mencapai 600 liter per detik.

Khusus pembangunan intake Sungai Sepaku, pemerintah menyiapkan saluran air raksasa selebar 117,2 meter dengan tinggi 2,3 meter. Saluran tersebut bakal mampu menampung 3.000 liter air per detik. Pengerjaan ini membutuhkan waktu lebih dari dua tahun, mengingat Kementerian PUPR harus menyediakan tubuh bendung, dinding bendung, feeder canal, kantong lumpur, dinding hilir dan hulu, pekerjaan apron, kolam olak, serta berbagai hal teknis lain untuk menuntaskan intake tersebut.

Masasalah Lain

Bisa jadi dampak pembangunan IKN Nusantara bertalian dengan kerusakan lingkungan dan ekologi sosial. Khususnya, kata dia, bagi masyarakat adat yang menjadi minoritas di Kabupaten Penajam Paser Utara. Kemungkina adanya indikator-indikator dengan narasi tersebut terlalu naif diterapkan terhadap suku adat Balik. Dalam sejarahnya, justru suku tersebut menjadi cikal bakal peradaban di Kalimantan Timur. Nama Kota Balikpapan,adalah nama yang disadur dari suku tersebut. Suku ini bahkan sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Pembangunan ibu kota negara juga cenderung dilakukan dengan menabrak hak-hak masyarakat setempat. Eko menilai pemerintah justru sekadar menawarkan pemindahan ke desa baru tanpa menjamin masyarakat adat memiliki hak atas tanah ulayat.

Masalah yang sama bisa temukan pada suku Bajo, Desa Jenebora, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara. Desa itu bakal dibedol untuk rencana pembangunan pangkalan udara milik TNI Angkatan Laut di wilayah IKN Nusantara. Dampak rencana proyek itu, warga dengan serta-merta bakal digusur tanpa diberi ruang hidup. Kita berharap semua hal yang dipaparkan di atas hanyalah pikiran yang bisa diantisipasi, bagaimanapun alam memiliki mekanisme sendiri dan tidak ada satupun kemampuan manusia memahaminya secara utuh.


*) Penulis: Anton Herlambang, (Pegiat Kajian Lingkungan Citarum)

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close