Petani Dalam Ancaman Resesi / Foto: Ist. |
Oleh : Dekki Umamur Rais
Sambangdesa.com - Saat kabar resesi berhembus ke meja pengambil kebijakan negeri ini, sontak menarik perhatian mengenai psikologi sosial pada kelompok petani desa. Selain menjadi lumbung pangan yang determinan, petani desa bukan tanpa rintangan dan gangguan produktifitas. Selama ini ada anggapan bahwa mereka hanya menanam demi kebutuhan. Padahal, jauh dari fakta lapangan menyatakan terdapat keinginan peran lebih petani desa di Indonesia untuk berkontribusi pada ekonomi nasional.
Sudah banyak negara mengalami efek langsung resesi ekonomi global kali ini. Rilis survei dari lembaga kajian ekonomi, Visual Capitalist, menyatakan sebanyak 25 negara di dunia terancam mengalami kebangkrutan. Penyebanya dikarekan gangguan kesulitan keuangan untuk menambal cadangan devisa dan membayar utang. Inflasi yang mencekik leher buah dari terkereknya harga pangan dan energi kian menambah runyam keadaan.
Sri Lanka merupakan bukti nyata dampak resesi. Akibat krisis bahan bakar minyak terjadi karena negara berpenduduk 22 juta jiwa itu tidak memiliki cukup mata uang asing untuk membayar impor barang-barang pokok, termasuk bensin dan solar. Kekurangan bahan makanan dan bahan bakar menyebabkan harga melambung tinggi. Inflasi mencapai 30%.
Bayangkan saja Sri Lanka sekarang mengimpor US$3 miliar (Rp45 triliun), lebih banyak daripada ekspornya setiap tahun. Alhasil, Sri Lanka bangkrut karena kehabisan mata uang asing. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing US$7,6 miliar (Rp114 triliun). Pada Maret 2020 turun menjadi US$1,93 miliar (sekitar Rp29 triliun).
Jika suatu negara telah defisit pangan itu tanda alarm bahaya dinyalakan. Petani desa pasti akan masuk pusaran dampak dan mungkin menjadi korban paling terdampak kuat dibandingkan lapisan sosial lain. Rendahnya kepemilikan tanah dan keberadaan mode terampil untuk meningkatkan produksi telah menyebabkan kelesuan dan pesimisme pertanian sebagai mata pencarian.
Selain itu terdapat masalah lain seperti gencarnya monopoli agraria terjadi di seluruh penjuru negri. Dari seluruh wilayah darat Indonesia, 71% didominasi korporasi kehutanan, 16% korporasi perkebunan, 7% oleh para konglomerat. Sedangkan sisanya yang cuma 4% untuk rakyat kecil (KPA,2020).
Masih menurut catatan KPA 2020, telah terjadi 241 letusan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 624.272,711 ha. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria sebanyak 135.337 KK yang tersebar di 359 desa, di seluruh Indonesia. Konflik akibat perkebunan sebanyak 122 letusan konflik, kehutanan (41), pembangunan infrastruktur (30), properti (20), tambang (12), fasilitas militer (11), pesisir (3), agribisnis (2). Apakah reformasi agraria yang ada, memberikan solusi akan hal tersebut? Perlu di benahi kembali reformasi agraria agar menguntungkan rakyat.
Terseret Resesi
Bank Dunia dalam laporannya berjudul Global Economic Prospects, edisi Juni 2022 lalu, menyatakan gambaran betapa rumitnya pilihan situasi. Bank Dunia mengumpangakan kalaupun terhindar dari resesi, tampaknya perekonomian global tak bisa terlepas dari stagflasi. Kecuali, terjadi perombakan besar dari sisi penawaran ekonomi melalui restorasi mata rantai pasok dan logistik global.
Dari alur pendayatahanan, posisi petani semakin rumit. Mereka bukan saja tidak didukung oleh minimnya lahan produksi tetapi kaderisasi teknis dan manajemen pasar. Pembukaan lahan food estate di Temanggung oleh Presiden Jokowi akan lebih maksimal jika ceruk terdalam problematika di atas diselesaikan. Bayangkan bahwa ada sekitar 33 juta petani, hanya sekitar 25 persen yang berusia kurang dari 40 tahun (tahun 2020).
Fakta lain bahwa itu tren Garis Kemiskinan (GK) terus mengalami kenaikan dari Rp 486.168 (September 2021) menjadi Rp 505.469 per kapita per bulan (Maret 2022). Dengan rata-rata 4,74 orang anggota rumah tangga. Artinya GK per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.395.923/rumah tangga miskin/bulan. Terlebih lagi yang perlu diperhatikan pemerintah 52,94 persen penduduk miskin berada di pulau jawa atau sekitar 13,85 juta orang. Rata-rata dari tren itu menerpa banyak masyarakat petani desa.
Petani harus dipastikan mendapatkan dampak kebijakan seperti dengan menjaga daya beli, Pemerintah memang menempuh kebijakan fiskal ekspansif di awal pandemi yaitu meningkatkan belanja negara melalui bantuan sosial, peningkatan subsidi, dan mengurangi pendapatan perpajakan. Ini terbukti mampu meningkatkan konsumsi rumah tangga sehingga tumbuh 5,51 persen selama kuartal II 2022. Menghadapi tantangan baru, konsumsi rumah tangga tetap strategis.
Kekawatiran akan kuragnya daya persaingan Indonesia dalam ekspor produk dapat diamankan jika melihat peluang daya kembang yang ditimbulkan dari hasil pertanian desa. Lagi pula, prodak ekspor bisa menarik hasil pertanian desa dan bersimbiosis pada pengendalian pangan di masa yang akan datang. Petani desa sering kali mengeluhkan pilihan tanaman apa yang cocok dipasar. Rangsangan informasi seringkali tidak merembes pada mereka, alhasil tiada pilihan lain dari mengandalkan satu atau dua jenis tanaman. Pengetahuan lain mengenai bibit dan kesesuaian tekstur tanah hampir tidak merata. Hal ini, menyebabkan lahan banyak menjadi gambut dan tidak produktif.
Jika kebijakan menghendaki untuk mengatur dengan subsidi, harusnya petani desa diperhatikan lebih rinci. Peran koperasi desa pada pengadaan pupuk dan pengendalian hasil pertanian berlebih dalam menghadapi resesi harus diukur serta diwaspadai. Bukan saja kehilangan modal usaha akibat kerugian melainkan ketidakpercayaan petani desa untuk melanjutkan budaya kerja pertaniannya.
Bagaimana dengan Tahun 2023? Mari kita tunggu saja.
*) Penulis adalah Pegiat Studi Desa Indonesia (PUSDI)
Social Footer