Sambangdesa com / Bangka Belitung - Indonesia menghadapi ancaman lingkungan yang serius akibat bekas aktivitas pertambangan yang meninggalkan lahan kritis di berbagai wilayah, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, hingga Bangka Belitung. Lubang-lubang tambang yang membentuk “kolong” menganga tanpa pengelolaan, tanah yang terkontaminasi, serta danau-danau beracun menjadi warisan pahit dari pembangunan yang gagal menyeimbangkan antara ekonomi dan ekologi.
Di Bangka Belitung, ribuan lubang pascatambang timah yang dikenal dengan sebutan “kolong” dibiarkan terbengkalai. Sebagian besar berubah menjadi danau beracun yang tidak bisa dimanfaatkan secara produktif. Upaya reklamasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun pun belum membuahkan hasil signifikan. Miliaran rupiah dana sudah dikeluarkan dan ribuan bibit pohon ditanam, tetapi mayoritas gagal tumbuh. Lahan bekas tambang ini tetap menjadi “lahan mati” baik secara ekonomi maupun ekologis.
Fenomena ini menjadi cerminan dari “kutukan sumber daya” yang menimpa Indonesia: kaya alam namun berujung pada kemiskinan ekologis.
Di tengah kegagalan besar tersebut, muncul kisah sukses dari sebuah desa kecil di Bangka Tengah bernama Desa Perlang. Desa ini berhasil melakukan transformasi luar biasa — mengubah kolong bekas tambang menjadi Danau Pading, destinasi wisata yang kini produktif dan menjadi sumber penghidupan baru bagi masyarakat.
Berbeda dengan proyek besar yang mengandalkan dana dan teknologi, keberhasilan Perlang justru lahir dari inisiatif lokal yang digerakkan oleh pemuda desa melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Mereka tidak menunggu bantuan pemerintah atau investor besar, melainkan memulai dengan membersihkan lahan, memetakan potensi wisata, dan mengajak warga bergotong royong.
Inisiatif ini bukan sekadar proyek formal, melainkan gerakan sosial yang lahir dari kebutuhan hidup dan keyakinan bahwa ruang hidup tidak boleh dibiarkan mati.
Selain semangat pemuda desa, keberlanjutan Danau Pading didukung oleh sinergi kuat antar lembaga desa. Pemerintah Desa memberikan dukungan kebijakan dan pembiayaan awal melalui Dana Desa, sementara Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) mengelola aspek bisnis dan keberlanjutan ekonomi.
Dengan sistem bagi hasil transparan, Danau Pading bukan hanya menyajikan keindahan alam tetapi juga menjadi sumber pendapatan tetap bagi kas desa. Keberhasilan ini menegaskan bahwa demokrasi lokal dan kolaborasi antar lembaga dapat berjalan efektif dengan komunikasi dan kepercayaan yang terjaga.
Awalnya, kolong di Desa Perlang adalah lubang tambang yang beracun, dengan air berwarna kehijauan dan tanah tandus. Kini, danau tersebut telah berubah menjadi ruang sosial yang hidup. Setiap pekan, ratusan pengunjung datang untuk menikmati pemandangan, memancing, dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Transformasi ini membawa dampak ekonomi yang berkelanjutan. Warga yang sebelumnya bergantung pada tambang kini beralih menjadi pelaku wisata, pengrajin, petani ikan, dan pengelola usaha kecil seperti penyewaan perahu dan warung makan. Kreativitas dan inovasi masyarakat menjadi sumber penghidupan baru, sekaligus melestarikan lingkungan.
Danau Pading resmi dibuka sebagai destinasi wisata umum pada 27 Oktober 2020 dan dengan cepat menarik perhatian publik. Luasnya mencapai 23 hektar dan berjarak sekitar 90 menit perjalanan dari Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.
Wilayah ini dulunya adalah lahan bekas tambang timah yang terakhir kali dieksploitasi pada tahun 2000. Setelah hampir dua dekade terbengkalai, kini Danau Pading menjadi contoh sukses reklamasi yang berorientasi pada ekowisata dan pemberdayaan masyarakat.
Kisah Desa Perlang dan Danau Pading mengingatkan kita bahwa keberhasilan pemulihan lingkungan tidak selalu bergantung pada besarnya anggaran atau teknologi canggih, melainkan pada inisiatif lokal yang kuat, kolaborasi antar lembaga, dan semangat komunitas yang hidup. Dari lubang tambang beracun yang sunyi, lahir danau kehidupan yang membawa harapan baru.

Social Footer