Samabangdesa.com /Probolinggo – Pernahkah Anda mencicipi mangga Probolinggo, buah yang dulu dikenal dengan rasa manis khas dan tekstur tepung yang unik? Kini, keberadaan mangga asli dari Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, semakin langka dan hanya tersisa sebagai kenangan indah. Kisah ini diungkapkan Andi Suryanto Wibowo, mantan pedagang mangga sekaligus saksi perjalanan kejayaan buah tersebut.
Andi mengenang masa ketika mangga Probolinggo menjadi kebanggaan daerah. Pada era 1980-an, mangga ini bukan hanya populer di pasar lokal, melainkan juga menembus pasar internasional. “Mangga dari Probolinggo dikenal memiliki rasa manis dan tekstur tepung khas, seperti varietas manalagi dan arum manis,” ujarnya.
Menurut Andi, buah ini pernah diekspor ke negara-negara seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kejayaan tersebut menjadikan mangga sebagai simbol kemakmuran dan identitas Kabupaten Probolinggo.
Namun seiring waktu, situasi berubah drastis. Andi menjelaskan bahwa banyak warga kini enggan menanam pohon mangga. “Keberadaan pohon mangga di wilayah ini semakin menyusut,” katanya. Penyebabnya tidak hanya soal minat, tetapi juga faktor lingkungan seperti kondisi tanah dan iklim yang berbeda dibandingkan daerah tetangga, misalnya Pasuruan.
“Tanah di Probolinggo memang unik. Mangga yang tumbuh di sini terasa lebih manis dan memiliki tekstur tepung yang khas, berbeda dengan mangga yang ditanam di daerah lain,” jelas Andi. Dahulu, pohon mangga tersebar di seluruh kecamatan, bahkan di desa-desa kecil, dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat setempat.
Kini, pasar mangga Probolinggo juga menghadapi tantangan baru. Pedagang dari luar kota mulai menjual mangga yang diklaim berasal dari Probolinggo, padahal kualitas dan asal-usulnya berbeda. “Sekarang tinggal ikon dan nama saja. Stok mangga asli Probolinggo sudah sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada,” ungkap Andi.
Kondisi tersebut membuat pedagang asli dari Probolinggo semakin jarang ditemukan. Banyak pembeli yang sulit membedakan antara mangga asli dan yang hanya menggunakan label Probolinggo.
Melihat kondisi ini, Andi berharap ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk mengembalikan kejayaan mangga Probolinggo. Ia mengusulkan program “satu rumah satu pohon mangga” sebagai langkah awal untuk menumbuhkan kembali pohon mangga di setiap keluarga.
Selain itu, peran Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) juga dianggap vital dalam mengelola dan memasarkan mangga asli Probolinggo. “Dulu, di Desa Klaseman, Gending, ada UD 66 yang mengekspor mangga. Pengusaha Jepang bahkan pernah datang langsung ke Probolinggo untuk melihat kualitas mangga kita,” kenangnya.
Bagi Andi, mangga bukan hanya produk pertanian, tetapi juga bagian dari identitas dan sejarah Kabupaten Probolinggo. Dengan segala potensi dan kenangan ini, ia berharap generasi muda dan pemangku kepentingan dapat bergandengan tangan untuk melestarikan dan mengembangkan mangga asli daerah ini.
Perjalanan mangga Probolinggo dari masa kejayaan hingga keterbatasan stok saat ini mencerminkan perubahan sosial dan lingkungan yang signifikan. Mengembalikan kejayaan mangga ini bukan sekadar soal pertanian, melainkan juga menjaga warisan budaya dan ekonomi lokal. Apakah kita siap untuk menghidupkan kembali kebanggaan ini?

Social Footer