Breaking News

Ancaman Kebijakan Food Estate pada Ketahanan Pangan Lokal

Sambangdesa.com – Di tengah urgensi ketahanan pangan nasional, pelestarian pangan lokal seharusnya menjadi prioritas, terutama bagi wilayah kepulauan seperti Indonesia. Namun, kebijakan pemerintah yang mengedepankan pembangunan lumbung pangan atau food estate justru menimbulkan persoalan baru yang kompleks, merambah aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Food estate bukanlah konsep baru di Indonesia. Program ini pertama kali diperkenalkan pada 1995 lewat Megaproyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah pada masa Presiden Soeharto. Kebijakan serupa terus berlanjut di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008-2014), Presiden Jokowi (2015-2024), dan kini Presiden Prabowo (2025-2029).

Namun, meskipun telah menghabiskan anggaran negara hingga triliunan rupiah, produktivitas lumbung pangan ini tetap jauh dari target. Data menunjukkan realisasi produktivitas hanya sekitar 0,2% pada era Soeharto, 8,6% di era SBY, dan 2,4% pada masa Jokowi. Kini, Pemerintahan Presiden Prabowo menargetkan perluasan lahan food estate hingga 3 juta hektar dengan anggaran Rp 105,9 triliun, menyasar wilayah Merauke (Papua), Sumatera Selatan, dan Kalimantan.

Proyek food estate ini membawa dampak serius terhadap ekosistem dan masyarakat adat. Di Kalimantan Tengah, sekitar 3.000 hektar wilayah adat di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau terancam dialihfungsikan menjadi lahan pangan, menggantikan hutan yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan mata air warga setempat.

Di Papua Selatan, food estate seluas dua juta hektar di Kabupaten Merauke mengancam hutan sagu milik masyarakat adat Suku Malind, Yeinan, Maklew, Khimaima, dan Yei. Greenpeace Indonesia melaporkan hilangnya 5.291 hektar hutan di Distrik Ilwayab, Kampung Wanam, yang menjadi lokasi proyek strategis nasional (PSN) food estate.

Berdasarkan data Madani Berkelanjutan, lebih dari 1,57 juta hektar hutan alam yang tersebar di Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan berada dalam area food estate, dengan Papua sebagai wilayah terluas mencapai 1,38 juta hektar.

Perubahan fungsi lahan ini tidak hanya menghilangkan sumber pangan lokal tetapi juga memutus hubungan masyarakat adat dengan lingkungan dan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun. Akibatnya, sistem pangan lokal yang beragam dan berkelanjutan pun terancam punah, meningkatkan risiko kelaparan sistemik.

Bukan hanya food estate, pembangunan yang tidak berkelanjutan juga mengancam keberlangsungan kuliner khas daerah. Contohnya, lontong kupang khas Surabaya, yang berbahan dasar kupang – sejenis kerang laut – kini menghadapi ancaman dari rencana proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL) di pesisir Pantai Kenjeran.

Pedagang dan nelayan yang selama ini menggantungkan hidup pada hasil laut mengkhawatirkan terhentinya aktivitas ekonomi mereka akibat reklamasi yang berpotensi menutup tempat usaha dan mengurangi area tangkapan.

Perubahan iklim yang semakin nyata juga memengaruhi ketahanan pangan di berbagai daerah. Di Lembata, Nusa Tenggara Timur, gagal panen dan kelaparan melanda beberapa dusun akibat curah hujan yang tidak menentu dan kekeringan.

Sebagai respons, petani di Desa Tapobali Tengah mulai mengadopsi tanaman lokal sorgum, yang dikenal dengan nama kfarfolot. Tanaman ini tahan terhadap krisis iklim dan dapat dipanen dua kali setahun, menjadi alternatif penting dalam menjaga ketahanan pangan komunitas.

Di Wonogiri, Jawa Tengah, mayoritas warga adalah petani yang menanam sorgum, singkong, padi, dan umbi-umbian secara tumpang sari untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, rencana pembangunan tambang dan pabrik semen mengancam keberlanjutan lahan produktif mereka.

Meskipun pemerintah menawarkan peluang pekerjaan, masyarakat menolak karena risiko kerusakan sumber air, kesehatan, dan lingkungan yang masif di kawasan karst Gunungsewu. Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Hery Priswanto, menegaskan bahwa ketahanan pangan di wilayah ini telah terjaga sejak era Mataram Kuno, dibuktikan dengan temuan lumbung padi di Situs Liyangan, Temanggung.

Nelayan di Pulau Lae-Lae, Sulawesi Selatan, juga menghadapi tantangan serupa dengan rencana reklamasi seluas 157,23 hektar untuk proyek Center of Point Indonesia di depan Pantai Losari, Makassar. Pulau Lae-Lae yang selama ini menjadi sumber ambaring, cumi, ikan, dan lato’ (anggur laut) bagi nelayan, terancam fungsi ekologinya.

Selain dampak ekonomi, reklamasi ini berpotensi merusak aspek sosial dan budaya masyarakat. Padahal, potensi wisata sejarah, budaya, dan kearifan lokal di Pulau Lae-Lae belum tergarap secara optimal.

Kebijakan food estate dan pembangunan besar-besaran di Indonesia menghadirkan dilema serius antara kebutuhan ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan serta budaya lokal. Alih fungsi lahan yang masif berpotensi menghilangkan pangan lokal, merusak habitat, dan mengancam keberlangsungan komunitas adat.

Pendekatan yang terpusat dan seragam tidak mampu menjawab kompleksitas keanekaragaman hayati dan sosial di Indonesia. Kebutuhan mendesak saat ini adalah kebijakan ketahanan pangan yang adil ekologis, menghormati masyarakat adat, dan mendukung pelestarian pangan lokal sebagai fondasi keberlanjutan bangsa.

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close