Breaking News

Menjelang Ramadan, Warga Jawa Tondano Gelar Tradisi Pungguan

Menjelang Ramadan, Warga Jawa Tondano Gelar Tradisi Pungguan
Tradisi Pungguan menjadi momen penting bagi Komunitas Jawa Tondano (Jaton) untuk merawat hubungan spiritual dengan leluhur sekaligus mempererat tali silaturahmi / Foto: kompas.com
Sambangdesa.com / Gorontalo - Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat Jawa Tondano (Jaton) melaksanakan tradisi pungguan, sebuah tradisi berkumpul dan berdoa bersama di makam leluhur. Tradisi yang juga dikenal sebagai sareyan ini telah diwariskan lintas generasi sejak masa kedatangan leluhur Jaton di Gorontalo. Pungguan menjadi momen penting bagi warga desa dan para perantau untuk merawat hubungan spiritual dengan leluhur sekaligus mempererat tali silaturahmi.

Tradisi pungguan memiliki akar sejarah yang kuat. Masyarakat Jawa Tondano berasal dari keturunan para pejuang Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825–1830) yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Minahasa, Sulawesi Utara. Para kombatan ini, sebanyak 63 orang, dipimpin oleh Kiai Mojo, seorang ulama terkemuka bernama asli Mochammad Khalifah. Setelah menetap di pengasingan, mereka menikah dengan perempuan lokal Minahasa dan membentuk komunitas yang dikenal sebagai Jawa Tondano.

Seiring waktu, sebagian dari komunitas ini bermigrasi ke wilayah Gorontalo dan mendirikan kampung-kampung seperti Desa Yosonegoro (tahun 1902), Desa Kaliyoso (tahun 1915), dan Desa Reksonegoro (tahun 1925). Hingga kini, keturunan mereka melanjutkan tradisi pungguan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Desa Reksonegoro, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, menjadi salah satu pusat pelaksanaan tradisi pungguan. Jamaluddin Haji Ali, salah satu warga desa, menjelaskan bahwa kegiatan ini dimulai sejak pagi hari.

“Sebelum pukul 07.00 Wita, warga sudah berkumpul di makam untuk membersihkan area kuburan dari rumput liar dan semak belukar,” tuturnya.

Makam leluhur di Desa Reksonegoro terletak di Jaga 1, di atas sebuah bukit kecil yang berbatasan dengan Desa Molowahu. Untuk mencapai lokasi, warga harus melintasi jembatan kayu dan jalan setapak yang sebelumnya dirapikan secara bergotong-royong. Setelah area makam bersih, keluarga-keluarga yang datang membawa bekal berupa makanan tradisional dan buah segar untuk dinikmati bersama.

Setelah pembersihan selesai, prosesi berlanjut dengan doa bersama yang dipimpin oleh Imam Muhammad Wonopati, seorang tokoh masyarakat setempat. Imam Muhammad Wonopati, yang dipercaya memiliki garis keturunan langsung dari Ki Ageng Sela (tokoh Jawa yang dikenal dalam legenda sebagai pengendali petir), memimpin doa dari sebuah cungkop, yaitu bangunan kecil di puncak makam.

Dalam prosesi tersebut, warga mendoakan leluhur mereka yang merupakan para pejuang dan pembawa ajaran agama Islam di masa lalu. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritual yang telah diwariskan selama lebih dari satu abad.

Bagi banyak perantau Jawa Tondano, pungguan menjadi momen untuk kembali ke kampung halaman, bertemu sanak saudara, dan memperkuat ikatan kekeluargaan.

“Ini adalah cara kami melepas rindu pada keluarga dan kampung halaman, sekaligus mengenang jasa para leluhur,” ungkap Jamaluddin.

Tradisi ini juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Selain membersihkan makam, warga berbagi makanan dan saling membantu, menciptakan suasana kebersamaan yang penuh kehangatan. Tradisi pungguan, yang awalnya berakar pada nilai-nilai keagamaan dan budaya, kini menjadi simbol persatuan komunitas Jawa Tondano di Gorontalo.

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close