Oleh: Dekki Umamur Ra'is *)
Sambangdesa.com - Semua harus lebih ekstra untuk pemilu 2029 mendatang. Pasalnya nominal biaya politik 2024 kali ini tidak sama sekali mencerminkan efisiensi yang mengarah pada demokrasi substantif. Terlebih lagi secara terang-terangan caleg atau capres memaparkan keperluan biaya politik sekalipun nampak kecil dari jumlah sesungguhnya. Pada pemilu mendatang harga harus dibayar mahal, masyarakat akan tetap terbiasa bertransaksi suara mereka.
Setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah sistem pemilihan umum legislatif dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, persaingan antarcalon anggota legislatif (caleg) memang menjadi sangat keras. Para caleg tidak hanya bertarung dengan caleg dari lain partai, tetapi juga bertarung dengan caleg separtai. Ini yang membuat para caleg pun akhirnya jorjoran mengeluarkan biaya politik untuk meraih kemenangan. Seorang aktivis pun ada yang sampai mengeluarkan uang Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar, sedangkan yang berasal dari birokrat, TNI/Polri, dalam kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar. Sementara kalangan pengusaha umumnya menghabiskan Rp 1,5 miliar hingga Rp 6 miliar.
Banyak anggota DPR yang kembali maju sebagai calon anggota legislatif pun mengeluhkan besarnya biaya politik ini. Menurut mereka, biaya itu sudah hampir tidak masuk akal. Dari Juni sampai November 2013 saja sudah ada yang habis Rp 800 juta. Itu sudah 75 persen biaya kampanye pada tahun 2009 yang sekitar Rp 1,25 miliar. Banyak malah yang sudah habis lebih besar lagi, Rp 1 miliar lebih. Bahkan seorang caleg DPR RI mengaku habis 40 miliar masih gagal menang.
Kondisi ini pula yang akhirnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang berduit sebagai caleg karena bisa membiayai partai, bukan orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan kontribusinya bagi partai. Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil banyak juga dari partai atau saat menduduki posisi-posisi strategis dalam jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang terjadi adalah sangat transaksional. Ada pola money, power, more money, more power.
Kondisi ini sangat mengerikan bagi bangsa karena jabatan publik akhirnya diisi orang-orang yang kompetensinya diragukan, apalagi integritasnya. Bangsa ini pun hanya menjadi korporasi semata. Memang masih ada caleg yang berusaha idealis, tidak terpancing menggunakan politik uang. Mereka mengandalkan kedekatan hubungan serta program-program. Namun, cerita semacam ini semakin jarang terdengar.
Salah satu kasus yang pernah menimpa Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahny, yang anggota Komisi III DPR, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan korupsi. Kini keduanya ditahan di rumah tahanan KPK. Hasil korupsi Ben dan Ary yang diperkirakan Rp 8,7 miliar itu digunakan untuk kepentingan politiknya, yaitu membiayai lembaga dua survei nasional yang mereka sewa. Uang hasil korupsi tersebut juga digunakan untuk biaya operasional pemilihan Bupati Kapuas tahun 2018 dan Pemilu Legislatif 2019.
Bahwa biaya politik yang mahal memicu para pejabat, politisi, dan lainnya berkorupsi. Mengutip hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya politik bupati/wali kota rata-rata Rp 30 miliar, sedangkan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.
Tidak mengherankan sebagian politikus yang hanya memiliki kekayaan pas-pasan berujung jatuh miskin setelah gagal dalam kontestasi politik kekuasaan tersebut. Pun sebagian yang berhasil melenggang ke tampuk kekuasaan dan menjadi ”wakil rakyat” di parlemen atau yang menjadi kepala daerah tidak jarang yang terlilit utang dalam jumlah fantastis.
Banyak politikus yang terjerat korupsi karena harus membiayai syahwat politiknya, seperti ingin menjadi wakil rakyat, kepala daerah, atau pejabat negara. Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 2022, sebanyak 343 anggota DPR/DPRD dan 178 kepala daerah terjerat korupsi. Masih ada 310 pejabat eselon I, II, III, dan IV yang berurusan dengan KPK.
Perketat Aturan
Dengan keluwesan undang-undang memberikan waktu yang begitu lama bagi partai politik untuk melakukan kampanye, biaya politik dengan sendirinya akan menjadi sangat besar. Partai politik dan calon tentu akan berlomba-lomba meningkatkan elektabilitas partai dan calon dengan cara masing-masing. Kampanye konvensional melalui media elektronik, cetak, poster, baliho, dan pernak-pernik lainnya masih akan tetap mendominasi. Padahal metode kampanye semacam inilah yang menjadi penyebab utama tingginya biaya politik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama sekali tidak memberi batasan maksimal belanja kampanye bagi peserta pemilu. Ini berarti partai politik dan calon diperbolehkan menggunakan seluruh sumber daya untuk membiayai kegiatan kampanye. Maka, kampanye akan menjadi ajang pasar bebas dalam praktek demokrasi (free market democracy).
Hukum "pasar bebas" adalah memberikan keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal capital (uang) kuat. Basisnya tidak lagi pada kapasitas dan kapabilitas personal calon, melainkan seberapa kuat modal uang yang dimiliki untuk memoles citranya di hadapan publik. Kampanye yang tak terbatas inilah yang di kemudian hari akan menjadi bumerang dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat publik. Fokusnya tidak lagi bagaimana bekerja untuk publik, melainkan bagaimana mengembalikan biaya politik tersebut selama menduduki jabatannya. Maka, tidak mengherankan ada begitu banyak pejabat publik yang kemudian tersandera kasus korupsi.
Dengan tidak mengabaikan undang-undang, peluang pembatasan tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa hal. Pertama, partai politik harus dipaksa menginisiasi kampanye gabungan di masing-masing partai. Ini untuk menghindari adanya "perlombaan" kampanye di lingkup internal partai. Ini untuk menghindari agar calon yang memiliki sumber dana terbatas memiliki kesempatan yang sama untuk berkampanye.
Dalam hal ini peran partai politik sangat dibutuhkan untuk menertibkan kebiasaan kampanye yang dilakukan secara jorjoran. Penguatan partai pada sisi ini sejalan dengan mandat konstitusi bahwa yang menjadi peserta pemilu anggota legislatif (kecuali DPD) adalah partai politik. Undang-undang juga mengamanatkan bahwa partai politik adalah penanggung jawab kampanye pemilu dan wajib mendanainya (Pasal 129 ayat 1 UU No. 8/2012).
Semangat ini sebetulnya sejalan dengan upaya memperkuat akuntabilitas dana kampanye melalui pelaporan dana kampanye oleh partai politik. Undang-undang secara jelas dan tegas mengamanatkan bahwa pendanaan kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran dibuat dalam pembukuan khusus yang terpisah dari keuangan partai politik.
Ini mengisyaratkan bahwa pendanaan kampanye wajib dilakukan melalui satu pintu, yaitu partai politik sebagai peserta pemilu. Maka, menjadi tidak relevan ketika partai seolah-olah lepas tangan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan oleh calon.
Hal kedua yang bisa dilakukan adalah melalui penelusuran atas kebenaran sumber pendanaan dan biaya faktual kampanye oleh partai politik. Dalam prakteknya, tidak sedikit partai politik menerima sumbangan yang berasal dari sumber yang dilarang oleh undang-undang.
Sumber yang dilarang tersebut adalah yang berasal dari pihak asing, sumber yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan badan usaha milik desa. Sesuai dengan undang-undang, penerimaan atas sumbangan kampanye dari sumber yang dilarang dapat dikenai pidana dan tindakan hukum lainnya oleh KPU.
Di sisi lain, laporan pengeluaran dana kampanye tidak hanya didasarkan pada audit oleh akuntan publik. Penyelenggara pemilu semestinya juga memiliki data pembanding mengenai pengeluaran aktual oleh masing-masing partai. Sebab, faktanya, audit hanya dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen yang diserahkan, bukan pada sisi memastikan berapa sebetulnya pengeluaran kampanye oleh partai politik.
Pelacakan atas sumber pendanaan kampanye dan verifikasi atas pengeluaran kampanye faktual menjadi bagian untuk membatasi belanja kampanye. Kelemahan pada sisi ini sebetulnya menjadi ruang bagi terjadinya praktek pencucian uang. Kelemahan akuntabilitas dana kampanye menjadi ruang yang terbuka bagi pencucian hasil kejahatan, termasuk yang berasal dari korupsi.
Agar pemilu mendatang tidak demikian KPU dalam konteks ini tidak hanya terpaku dalam konteks rezim pemilu, tapi juga bersinergi dengan ketentuan undang-undang lain yang mendukung terciptanya pemilu yang demokratis. Dalam demokrasi, fakta menyebutkan bahwa politik biaya tinggi, apalagi politik yang dibiayai dari sumber yang "haram", justru akan menghasilkan pemerintahan dan lembaga legislatif yang korup. Maka, pilihan untuk membatasi biaya politik, termasuk belanja kampanye, adalah pilihan yang harus diambil oleh penyelenggara pemilu. Agar politik biaya tinggi ini tidak lagi menjadi alat reproduksi korupsi di masa depan.
*) Penulis adalah Dosen di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang dan Pegiat di Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI)
Social Footer