Sambangdesa.com - Masyarakat Minangkabau, terutama di Provinsi Sumatera Barat, memiliki sistem pemerintahan khas yang dikenal sebagai nagari. Salah satu nagari yang terkenal adalah Nagari Pariangan, terletak di Lereng Gunung Marapi, tepatnya di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Nagari Pariangan, atau juga dikenal dengan sebutan Nagari Tuo Pariangan, telah mengundang kekaguman dunia setelah diakui oleh media pariwisata Travel Budget dari New York, Amerika pada tahun 2012, yang memasukkannya dalam daftar desa terindah di dunia.
Menurut informasi dari laman indonesia.go.id, dalam Bahasa Indonesia, kata "Nagari" mengacu pada konsep desa, sedangkan kata "Tuo" memiliki arti tua atau kuno. Oleh karena itu, sebutan Nagari Tuo Pariangan mengacu pada keyakinan masyarakat bahwa tempat ini adalah akar dari sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau.
Secara etimologi, istilah "nagari" memiliki akar dari Bahasa Sanskerta, yaitu "nagarom", yang mengandung makna "tanah air" atau "tanah kelahiran". Nagari merupakan pembagian wilayah administratif di Provinsi Sumatera Barat yang setara dengan konsep desa. Dalam pelaksanaan pemerintahannya, nagari dipengaruhi oleh tradisi dan adat yang ditaati dan dihormati oleh penduduk setempat. Sistem pemerintahan nagari terdiri dari kumpulan jorong/korong, dan secara administratif berada di bawah kecamatan, yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan kabupaten.
Berdasarkan informasi yang dikutip dari laman gurunpanjangutara.pesisirselatankab.go.id, nagari merujuk pada unit pemukiman yang memiliki struktur yang paling lengkap menurut norma-norma adat. Nagari memiliki teritorial yang ditentukan oleh batas-batas tertentu, memiliki struktur politik internal yang terorganisir, serta memiliki aparat hukum sendiri. Untuk dapat dianggap sebagai sebuah nagari, suatu pemukiman harus memenuhi beberapa persyaratan, termasuk memiliki balai adat, masjid, serta area persawahan sebagai pendukung.
Tata kelola sistem nagari dalam budaya masyarakat Minangkabau tercermin dalam pepatah yang sering dikutip, yaitu "Dari Taratak menjadi Dusun, dari Dusun menjadi Koto, dari Koto menjadi Nagari, Nagari berada di bawah pimpinan Panghulu". Hal ini menggambarkan hierarki struktural yang dimulai dari Taratak sebagai unit terendah, yang berkembang menjadi Dusun, lalu Koto, dan akhirnya mencapai status Nagari. Di tingkat Nagari, kepemimpinan bersama dilakukan oleh sekelompok penghulu atau datuk setempat.
Meskipun dalam pengertian umum, masyarakat lebih akrab dengan istilah nagari sebagai sebutan untuk desa dalam konteks bahasa Minangkabau, perlu dicatat bahwa ada perbedaan mencolok antara kedua istilah tersebut.
Referensi dari laman indonesia.go.id mengindikasikan bahwa perbedaan antara nagari dan desa terletak pada struktur pemerintahan dan posisi kepala pemerintahannya. Dalam sistem desa, kepala desa dipilih langsung oleh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Pemilihan ini didasarkan pada kesepakatan bersama yang dihasilkan dari perdebatan masyarakat. Namun, dalam struktur pemerintahan nagari, terjadi integrasi dari berbagai daerah budaya yang dikelola oleh seorang kepala nagari atau wali nagari yang memiliki otoritas dan dihormati.
Proses pemilihan kepala nagari melibatkan partisipasi kolektif dari penduduk nagari, yang menilai keberhasilan calon kepala nagari dalam mengelola penduduk dan wilayah. Selain itu, ninik mamak (lembaga adat) yang terpilih juga berperan penting dalam membangun nagari dan dipercayai oleh penduduk setempat.
Perbedaan lainnya antara nagari dan desa adalah terkait dengan pembagian wilayah. Nagari memiliki pembagian wilayah yang lebih tetap dan spesifik berdasarkan fungsinya. Di sisi lain, dalam sebuah desa, pembagian wilayah tidak selalu memiliki ketetapan yang pasti dan seringkali bergantung pada pemilik tanah yang memiliki otoritas atas wilayah tersebut. Situasi ini membuka peluang bagi politisasi wilayah atau penduduk dalam konteks desa.
Penduduk dalam sebuah nagari umumnya telah membagi wilayah-wilayah sesuai dengan tujuan fungsionalnya. Dalam pembagian wilayah ini, terdapat aturan yang mengatur hak guna dan hak pakai berdasarkan adat. Misalnya, beberapa wilayah dapat dijadikan tempat pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan tempat ibadah.
Sejarah pemerintahan nagari di masyarakat Minangkabau sudah ada jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia. Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa sistem nagari diperkenalkan oleh Adityawarman. Ini berawal dari kunjungannya ke kerajaan Champa pada abad ke-13, di mana kerajaan tersebut memiliki struktur pemerintahan terbawah untuk membantu Raja yang disebut Champ Nong Ree.
Champ Nong Ree, yang secara harfiah berarti 'kampung yang disayangi oleh raja', dikelola oleh kerabat raja yang setia kepada raja yang berada di istana. Ketika Adityawarman mendirikan kerajaan di Pagaruyung, sistem serupa Champ Nong Ree juga diterapkan. Namun, seiring dengan perkembangan bahasa dan budaya setempat, sebutan Champ Nong Ree kemudian berubah menjadi Nongree, Nangoree, Nagori, dan akhirnya disebut Nagari seperti yang umum dipahami sekarang.
Namun, situasi ini mengalami perubahan setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda memasuki wilayah tersebut.
Pada tahun 1914, diterbitkan ordonansi nagari yang mengatur bahwa anggota kerapatan nagari hanya akan dibatasi pada penghulu yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Langkah ini diambil oleh pemerintah kolonial dengan tujuan untuk menciptakan tata pemerintahan yang teratur dan terorganisir. Akibatnya, penghulu-penghulu yang sebelumnya memimpin nagari secara kolektif, sekarang harus memilih satu di antara mereka untuk menjadi kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi tradisional dari penghulu suku mengalami perubahan.
Setelah masa proklamasi kemerdekaan, sistem nagari ini kembali mengalami perubahan agar sesuai dengan tuntutan dan kondisi pemerintahan pada saat itu. Perubahan ini merupakan respons terhadap transformasi sosial dan politik yang terjadi seiring dengan perubahan kebijakan pemerintahan.
Setelah masa proklamasi kemerdekaan, sistem nagari ini terus mengalami perubahan agar lebih sesuai dengan kondisi pemerintahan pada saat itu. Pada tahun 1946, dilakukan pemilihan langsung di seluruh wilayah Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Pemilihan ini tidak lagi dibatasi pada para penghulu saja, melainkan calon-calon dari berbagai latar belakang dapat ikut serta. Ini merupakan langkah penting dalam mendorong representasi yang lebih inklusif dalam pemerintahan nagari.
Kemudian, dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, peran pemerintahan nagari mulai berkurang. Ini mengakibatkan pemerintahan nagari hampir tidak memiliki peran yang signifikan lagi dalam sistem pemerintahan.
Selanjutnya, setelah periode Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir seluruh aparat pemerintahan nagari digantikan oleh pemerintah pusat. Ini juga berarti bahwa struktur dan tata kelola pemerintahan nagari mengalami perubahan.
Pada tahun 1974, Gubernur Harun Zain mengambil langkah untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun, kebijakan ini hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat.
Pada tahun 1979, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dikeluarkan, yang mengakibatkan sistem nagari dihapus dan status jorong diubah menjadi desa. Kedudukan wali nagari juga dihapus, dan administrasi pemerintahan kini dijalankan oleh para kepala desa. Meskipun demikian, konsep dan tradisi nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional, mengacu pada Peraturan Daerah No. 13 tahun 1983. Peraturan ini mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di setiap nagari yang sebelumnya ada.
Dengan adanya perubahan ini, sistem pemerintahan dan administrasi di daerah-daerah tersebut telah berubah secara signifikan, mengarah pada pergeseran dari sistem nagari ke sistem desa sesuai dengan regulasi dan tata kelola yang berlaku.
Pada tahun 1999, berlakunya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah membawa perubahan signifikan di Provinsi Sumatera Barat, termasuk dalam sistem pemerintahannya. Setelah 19 tahun berada dalam sistem pemerintahan desa, Provinsi Sumatera Barat memutuskan untuk kembali menggunakan istilah "nagari" dalam sistem pemerintahan daerahnya. Keputusan ini mengembalikan sistem pemerintahan dari desa menjadi nagari, yang kemudian diterapkan di seluruh wilayah Sumatera Barat hingga saat ini.
Penguatan konsep nagari ini juga diresmikan melalui terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan ini kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Melalui peraturan-peraturan ini, sistem pemerintahan nagari di Provinsi Sumatera Barat kembali ditegaskan dan diatur secara rinci dalam konteks otonomi daerah.
Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 tercatat ada sebanyak 1.265 nagari di Provinsi Sumatera Barat. Data ini mencerminkan hasil dari Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 yang mengatur tentang pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan, termasuk jumlah nagari, dalam tahun 2022.
Social Footer