Liputan6.com |
Ongkos mahal tersebut dikeluarkan Sutikno dan para petani lainnya untuk biaya irigasi dengan sistem bergilir dari sumur pompa yang berada di kawasan lahan sawahnya. Berdasarkan hitung-hitungannya, modal yang diperlukan untuk menggarap sepetak lahan pada musim kemarau kedua mencapai Rp 13 juta. Nominal itu lebih tinggi Rp 4 juta dibandingkan dengan masa tanam musim kemarau pertama pada Mei lalu. “Karena airnya harus beli dan butuh beberapa kali irigasi,” ujar dia kepada Tempo, kemarin, 19 Juli 2023. Ongkos itu belum termasuk biaya untuk pupuk.
Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Madiun, Suharno, menyatakan, mayoritas petani di daerahnya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarau panjang. Mereka berencana mengajukan surat keterangan pembelian solar bersubsidi lewat pemerintah desa masing-masing. Solar itu digunakan untuk mengoperasikan mesin pompa pada sumur dangkal yang masih ada di kawasan persawahan mereka. Mereka tak bisa mengandalkan mesin pompa sumur dalam yang menggunakan listrik karena jumlahnya terbatas. "Se-Kabupaten Madiun jumlah (pompa listrik) hanya 200-300 unit. Idealnya ada ribuan."
Tak hanya di Madiun, para petani di sentra produksi padi lainnya juga bersiap menghadapi musim kering dalam beberapa bulan ke depan. Abdul Somad, petani di Kecamatan Patampanua, Pinrang, mengatakan bahwa para petani di kampungnya telah menyiapkan pompa air untuk mengairi lahan atau sawah, apalagi saat ini tanaman padi di sana sudah berumur sebulan lebih. “Saya sudah siapkan pompa air,” ujar Comat—sapaan akrab Abdul.
Dengan persiapan tersebut, Comat mengaku tak terlalu khawatir akan datangnya El Nino. Apalagi para petani di Pinrang sudah terbiasa dengan masalah kekeringan dalam beberapa musim tanam. Persoalan yang justru menjadi kekhawatiran mereka adalah pasokan pupuk urea yang sulit diperoleh. Padahal pupuk tersebut sangat dibutuhkan saat masuk musim tanam. “Harga pupuk di pedagang eceran mencapai Rp 170 ribu satu sak. Ya, mau tidak mau dibeli, karena kami butuh,” tutur lelaki berusia 39 tahun itu.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena iklim El Nino mencapai kondisi puncak pada Agustus hingga September mendatang. Pada saat itu, suhu muka laut di kawasan Samudra Pasifik tengah akan berada di atas kondisi normal. Kondisi tersebut akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan di kawasan tersebut dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah, mengatakan bahwa para petani yang siap menghadapi kekeringan biasanya berada di daerah dengan sistem irigasi dan kecukupan air yang masih baik. Sementara itu, para petani di wilayah dengan sistem pengairan tadah hujan diperkirakan menghadapi periode sulit.
"Para petani di Indramayu, misalnya, sekarang ada yang sedang panen di wilayah Gabuswetan, tapi hasilnya turun. Sebagian tidak optimal karena kekurangan air," ujar dia. Karena kekeringan, para petani akhirnya melakukan pemompaan air yang menambah pengeluaran hingga 25 persen dari biaya tanam. Pompa digunakan untuk menyedot air dari sungai, yang kini ikut kering.
Akibat dari kondisi ini, Said memproyeksikan produksi beras secara agregat nasional bisa turun di kisaran 10 persen, terutama pada musim tanam berikutnya. Dalam situasi seperti ini, ia melanjutkan, pemerintah seharusnya melakukan antisipasi karena El Nino sudah diprediksi sejak jauh hari. Ia meminta pemerintah menyiapkan petani dalam berbagai hal, dari sarana dan prasarana pendukung, kapasitas adaptasi petani, hingga pendampingan bagi para petani. "Dengan demikian, para petani bisa menghindari kerugian."
Pemerintah Daerah Bersiap
Situasi yang berlainan menjelang periode puncak El Nino yang kian dekat membuat beberapa daerah mengambil pendekatan yang berbeda-beda. Pemerintah Sulawesi Selatan, misalnya, telah memperbaiki irigasi tersier agar para petani di sana tidak kekurangan air. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sulawesi Selatan, Imran Jauzi, mengatakan, saat ini El Nino sudah mulai terasa, khususnya di wilayah barat provinsi tersebut. Ia melihat ada beberapa wilayah yang kesulitan air, seperti Kabupaten Pinrang, Barru, dan Kota Parepare. “Tapi tidak semua wilayah itu mengalami kekeringan karena ada irigasinya. Tinggal dimaksimalkan saja,“ kata Imran.
Selain memperbaiki irigasi, Imran mengatakan, pemerintah menyiapkan mesin pompa dan pipa bagi para petani. Hal itu dilakukan agar proses penanaman dapat dipercepat dan mengurangi lahan yang kekurangan air. “Langkah ini untuk menutupi kekurangan produksi dari lahan kering." Dengan begitu, Imran berharap hasil panen Oktober-November tak menurun drastis agar stok masih bisa tercukupi. Apalagi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penyangga pasokan beras nasional, sehingga stoknya harus tetap terjaga.
Adapun Pemerintah Kabupaten Cirebon menyatakan tak khawatir akan datangnya El Nino. “Produksi gabah kami tahun lalu juga surplus,” kata Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Samsina. Pada 2022, ia mengatakan, kabupatennya mencatatkan surplus beras 110 ribu ton. Hal ini terjadi karena produktivitas lahan yang cukup tinggi di wilayahnya. Samsina mengklaim 1 hektare lahan sawah di sana bisa memproduksi sampai 6,2 ton gabah. Karena itu, ia optimistis pasokan pangan di wilayahnya tidak bakal terganggu pada musim kering.
Senada dengan Samsina, Pemimpin Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon, Imam Firdaus Jamal, meyakini stok beras yang ada di gudang mereka berada pada tingkat yang aman. “Saat ini kami memiliki stok 56.982 ton beras,” tutur Imam. Stok beras tersebut tersimpan di sejumlah gudang yang mereka miliki dan tersebar di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, serta Kabupaten Majalengka. Hingga hari ini, Bulog Cirebon menyatakan telah melakukan pengadaan sebanyak 82.048 ton beras. “Target prognosis kami tahun ini sebanyak 96.500 ton,” tutur Imam. Kendati ada El Nino, ia optimistis penyerapan tahun ini bisa mencapai target. [Red/TMP]
Social Footer