Breaking News

Sambut Ramadhan, Inilah Lima Tradisi Nyadran di Pulau Jawa

 

Sambut Ramadhan, Inilah Lima Tradisi Nyadran di Pulau Jawa
Sambangdesa.com - Nyadran adalah sebuah tradisi menjelang bulan Ramadhan yang dilakukan masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘sraddha’ yang artinya keyakinan.

Tradisi yang telah dijalankan oleh para leluhur ini menurut sejarah merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Tradisi nyadran merupakan budaya mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di kampung halaman.

Tradisi ini juga menjadi sarana melestarikan budaya gotong royong sekaligus untuk menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat. Tak heran jika hingga saat ini, nyadran menjadi salah satu tradisi yang masih dianggap penting bagi masyarakat Jawa.

Setiap wilayah di Jawa memiliki ragam tradisi Nyadran yang dilakukan sesuai dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya.

1. Tradisi Nyadran di Boyolali

Warga di lereng Gunung Merapi-Merbabu, seperti di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah setiap tahun menggelar tradisi nyadran. Dalam pelaksanaan tradisi nyadran, warga akan datang dengan membawa tenong berisi makanan untuk disantap setelah prosesi doa bersama. Apabila makanan yang disajikan habis disantap warga, dipercaya rezeki akan lancar menghampiri. Setelah selesai makan, acara akan dilanjutkan dengan saling bersilaturahmi dengan tetangga.

2. Tradisi Nyadran di Magelang

Warga di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Sorobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga melakukan tradisi nyadran. Bedanya, tradisi ini dimulai dengan kerja bakti dan ziarah di pemakaman yang ada di dusun tersebut. Hari berikutnya, warga akan kembali berkumpul dengan membawa aneka macam makanan.

Acara dimulai untuk memanjatkan doa bagi leluhur dan keluarga yang sudah tiada, salah satunya adalah leluhur setempat bernama Mbah Kyai Pulasara. Setelah itu, warga akan menyantap makanan yang telah dibawa secara kembul bujono atau makan bersama-sama.

3. Tradisi Nyadran di Gunungkidul

Warga di Padukuhan Blarangan, Kalurahan Sidorejo, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta memiliki tradisi nyadran yang disebut nyadran seribu ingkung. Tradisi ini dilakukan sebelum bulan puasa, tepatnya setiap tanggal 15 bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Lokasinya ada di petilasan tokoh masyarakat setempat yaitu Raden Mas Tumenggung Djoyo Dikromo Secuco Ludiro.

Dalam tradisi ini, diklaim ada seribu ekor ingkung atau ayam utuh yang dimasak dengan bumbu gurih. Ingkung dan nasi gurih ini dibawa warga setempat di dalam tenggok sebagai ucapan rasa syukur dan berbagi dengan warga lainnya. Setelah seluruh warga berkumpul, tokoh masyarakat setempat akan mulai memimpin doa. Kemudian, panitia akan membagikan bungkusan di mana warga akan memasukan sebagian makanan yang dibawa ke dalamnya. Bungkusan tersebut akan diberikan kepada warga yang datang namun tidak membawa makanan.

4. Tradisi Nyadran di Kulon Progo

Warga di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta memiliki tradisi nyadran yang disebut Nyadran Agung. Tradisi Nyadran Agung ini dilakukan di depan Plengkung Geblek Renteng Alun-alun Wates. Tradisi ini tidak hanya dihadiri oleh ribuan warga, namun juga pejabat daerah setempat. Selain diisi dengan pengajian, ada juga pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada malam harinya.

Keunikan tradisi ini adalah keberadaan gunungan jamak berisi sayur mayur, buah, jajanan, dan hasil bumi lainnya yang dibuat oleh warga dari berbagai kecamatan dan badan usaha milik pemerintah Kulon Progo. Gunungan jamak yang dianggap sebagai gambaran kemakmuran rakyat ini akan diarak pasukan bergada mulai dari depan Kantor DPRD Kulon Progo ke Plengkung Geblek Renteng di depan alun-alun sebemum nantinya diperebutkan oleh warga

5. Tradisi Nyadran di Cilacap

Masyarakat adat Bonokeling di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah memiliki tradisi nyadran yang disebut punggahan. Waktu pelaksanaan tradisi punggahan adalah selama tiga hari, yakni Kamis, Jumat, dan Sabtu.

Pada hari Kamis, tradisi punggahan dimulai dengan berjalan kaki menuju makam leluhur mereka di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa dan membawa ubo rampe, yaitu bahan makanan yang berasal dari hasil panen untuk dimasak bersama-sama peziarah dari daerah lain di Pekuncen.

Pada hari Jumat, masyarakat adat Bonokeling bersama dengan masyarakat adat di Pekuncen, melakukan ritual seperti bersih kubur atau ziarah dan selamatan. Kemudian di hari Sabtu, masyarakat adat Bonokeling akan kembali ke Adiraja dengan tetap berjalan kak


Tradisi Nyadran: Sejarah, Makna, dan Ragam Kegiatan

Masyarakat Jawa terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta mengenal tradisi Nyadran yang dilakukan setiap menjelang bulan Ramadhan. Di beberapa tempat, tradisi Nyadran juga dikenal dengan sebutan Sadranan atau Ruwahan.

Nyadran dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Ruwah pada penanggalan Jawa atau bulan Syaban pada penanggalan Hijriyah, yang jatuh sebelum bulan Ramadhan. Masyarakat melakukan tradisi Nyadran secara turun-temurun, hingga tak jarang beberapa perantau sengaja mudin agar bisa mengikuti tradisi ini.

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, istilah Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Sraddha yang berarti keyakinan. Tradisi Nyadran merupakan suatu budaya yang telah dijalankan oleh para leluhur dan disebut sebagai hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Tak heran jika hingga saat ini Nyadran menjadi salah satu ritual yang dianggap penting bagi masyarakat Jawa.

Nyadran tak hanya dijadikan sarana untuk mengenal, mengenang, dan mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia. Makna dari tradisi Nyadran adalah memetik nilai-nilai kebaikan dari para pendahulu atau para leluhur. Hal ini selaras dengan pepatah Jawa kuno yang berbunyi "Mikul dhuwur mendem jero" yang bermakna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".

Nyadran juga memiliki makna untuk mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana melestarikan budaya gotong royong sekaligus untuk menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat.

Masing-masing wilayah di Jawa punya ciri khas masing-masing dalam melakukan tradisi Nyadran sesuai dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya. adapun kegiatan utama adalah besik atau membersihkan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Masyarakat akan saling bekerja sama dan bergotong royong untuk membersihkan makam leluhur dan keluarga masing-masing.

Di beberapa daerah, tradisi Nyadran juga diramaikan dengan kirab atau arak-arakan menuju ke tempat upacara adat dilangsungkan. Ada juga prosesi ujub atau menyampaikan maksud dari rangkaian tradisi Nyadran yang dilakukan oleh pemangku adat.

Tradisi ini juga diikuti dengan kegiatan doa bersama yang dipimpin oleh pemangku adat atau kyai yang ditujukan kepada roh leluhur yang sudah meninggal. Terakhir adalah kegiatan kenduri yang juga disebut kembul bujono atau tasyukuran.

Masyarakat akan makan bersama di mana setiap keluarga yang mengikuti tradisi Nyadran akan membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa berupa makanan tradisional, baik nasi, lauk, kudapan, hingga minuman. Setelah acara makan bersama selesai, maka selesai juga rangkaian dari tradisi Nyadran.

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close