Breaking News

Revisi UU Desa Belum Menjawab Kebutuhan Rakyat Desa?

 

Revisi UU Desa Belum Menjawab Kebutuhan Rakyat Desa?
Sambangdesa.com / Opini - Revisi Undang-Undang Desa sedang menggelinding di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada empat isu besar yang berusaha dimenangkan lewat revisi ini, yaitu perpanjangan masa jabatan Kades, kenaikan gaji, tunjangan purna tugas, dan kenaikan dana desa.

Namun, orkestra politik yang sedang dimainkan oleh DPR, yang awalnya ditabuh oleh para kepala desa lewat aksi di DPR pada Januari 2023 lalu, belum tentu bisa menjawab berbagai nada sumbang terkait UU Desa dan pembangunan desa.

UU desa bukanlah teks sakral yang tak bisa diubah. Hanya saja, revisi harus menghasilkan UU yang lebih baik. Dan itu hanya mungkin kalau prosesnya didahului dengan kajian mendalam, prosesnya terbuka, melibatkan partisipasi publik, dan tidak dilakukan tergesa-gesa. Lalu, apakah revisi UU Desa bisa menjawab pusparagam persoalan pembangunan desa?

Lalu, apakah revisi UU Desa bisa menjawab pusparagam persoalan pembangunan desa?

Sejumlah Persoalan

Sejak 2015 hingga 2022, anggaran APBN sebesar Rp 468,9 triliun mengalir ke 74.961 desa di seluruh Indonesia. Setiap tahun desa-desa itu menerima rata-rata Rp 600 juta hingga Rp 1,9 miliar per tahun.

Guyuran dana itu memang membawa sedikit kemajuan. Jumlah desa tertinggal berkurang dari 33.592 desa menjadi 9.584 desa. Sedangkan desa sangat tertinggal berkurang dari 13.453 menjadi 4.982 desa.

Namun, laju perubahan itu terasa masih sangat lambat. Setelah hampir satu dekade dana desa, kawasan pedesaan masih menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di Indonesia.

Jumlah orang miskin di desa sebesar 12,36 persen, sedangkan di kota hanya 7,5 persen (BPS, September 2022). Lebih miris lagi, meski desa menjadi jantung produksi pangan, prevalensi tengkesnya lebih tinggi dari perkotaan. Angka putus sekolah di pedesaan juga lebih tinggi dari perkotaan.

Data menunjukkan, hingga saat ini hanya 5 persen desa swasembada, 25 persen desa swakarya, dan sisanya masih swadaya (Kemendagri, 2023). Artinya, sebagian besar desa di Indonesia belum berhasil memaksimalkan dana desa.

Masalah terbesarnya, tidak semua dana desa itu mengalir pada proyek yang tepat, dikelola dengan benar, dan memberi manfaat pada rakyat desa. Tak sedikit anggaran itu yang masuk kantong pribadi Kepala Desa.

Data ICW menyebutkan, sepanjang 2015 hingga 2021, ada 592 kasus korupsi di tingkat desa, dengan 729 tersangka, dan kerugian sebesar Rp 433,8 miliar. Sementara data KPK menyebutkan, selama 2015-2022 ada 601 kasus korupsi dana desa dengan jumlah tersangka mencapai 686.

Paradigma Lama

UU Desa disusun di atas semangat untuk menggeser paradigma lama pembangunan yang top-down dan teknokratis menjadi lebih partisipatif dan desentralisasi.

Dalam UU desa bertaburan diksi yang memuliakan partisipasi, demokrasi, dan pemberdayaan rakyat. Bahkan, agar pembangunan desa bisa partisipatif alias bottom-up, diciptakan pirantinya: Musyawarah Desa dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (untuk menyusun RPJM Desa).

Namun, kenyataan bertitah lain: implementasi UU Desa masih mengidap penyakit top-down dan teknokratisme. Faktanya, ada lebih dari 60 regulasi (dan perubahannya) yang bersumber dari pemerintah pusat, baik Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, hingga Surat Keputusan Bersama (SKB), yang berusaha mendikte pembangunan desa.

Model pembangunan yang top-down seringkali menghasilkan kebijakan ataupun infrastruktur yang tidak sesuai dengan kebutuhan konkret dan mendesak dari warga. Model pembangunan yang top-down juga selalu melihat masyarakat desa sebagai komunitas homogen, sehingga tawaran kebijakannya memunggungi kekhasan budaya maupun tradisi masyarakat desa.

Selain itu, model pembangunan yang minus partisipasi itu menciptakan ruang lebar untuk misalokasi anggaran, mark-up, kegiatan atau program fiktif, pemotongan anggaran, dan lain-lain. Catatan bersama Kementerian PPN/Bappenas, Bank Dunia dan Kompak pada 2018 menemukan hanya 46 persen infrastruktur yang didanai dana desa sesuai dengan spesifikasi teknis.

Kemudian, hanya 30 persen yang dianggap sangat baik dalam hal fungsionalitas oleh pengguna dan hanya 50 persen proyek yang memiliki desain yang sesuai dengan pengguna.

Lebih miris lagi, dari 165 proyek tingkat desa yang dikaji dalam laporan itu, sebanyak 60 persen tidak memiliki dokumen perencanaan dan desain yang diperlukan, sementara 45 persen tidak memiliki gambar desain sama sekali.

Selain soal pembangunan yang top-down, implementasi UU desa juga terbelenggu oleh relasi sosial parasit warisan feodalisme bernama patron-klien.

Relasi patron-klien memungkinkan segelintir elite desa (patron), yang terkadang juga menjadi pejabat dan tokoh desa, membangun hubungan timbal balik yang bersifat hierarkis dan dikotomis dengan masyarakat desa yang menjadi pendukungnya (klien).

Dalam hubungan itu, elite yang bertindak sebagai patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosialnya lebih rendah. Sebagai imbal baliknya, klien memberi dukungan personal dan politik kepada sang patron.

Hubungan patron-klien itu menciptakan ketergantungan pada klien, sehingga mereka tidak bisa bertindak sebagai warga desa yang punya sikap politik mandiri untuk memperjuangkan kepentingannya maupun berpartisipasi dalam pembangunan desa.

Revisi UU Desa Belum Menjawab Persoalan

Isu-isu besar yang berusaha dimenangkan dalam orkestra politik DPR untuk merevisi UU Desa belum menyentuh ke persoalan mendasar UU Desa dan pembangunan desa.

Proposal perpanjangan jabatan kades ibarat pekerjaan menjaring angin. Sebab, persoalannya bukan pada kurangnya masa jabatan Kades, melainkan soal paradigma pembangunan yang usang dan rendahnya partisipasi warga desa dalam pembangunan.

Boleh dikatakan, revisi UU desa hanya mengakomodasi kepentingan pejabat dan elite desa, tetapi tak cukup mendengar suara keseluruhan rakyat desa. Padahal, suara desa tidaklah homogen.

Gagasan besar yang seharusnya ditagih dari UU Desa sekarang ini untuk diterapkan adalah: pembangunan partisipatif yang meletakkan rakyat desa sebagai subjek pembangunan.

Pembangunan partisipatif, yang melibatkan warga desa dalam menyusun rencana pembangunan, penyusunan anggaran, mengerjakan proyek infrastruktur, hingga pengawasan dana desa, bisa membawa dampak positif.

Pertama, model pembangunan partisipatif adalah model pembangunan berbasis kebutuhan warga. Proyek pembangunan disusun oleh warga lewat proses yang deliberatif berdasarkan kebutuhan bersama yang paling mendesak.

Kedua, pembangunan partisipatif akan melahirkan pembangunan yang inklusif. Partisipasi mensyaratkan keterlibatan seluruh warga desa tanpa memandang suku, agama, ras, gender, status sosial, dan lain-lain. Kelompok masyarakat paling marginal di desa, yang selama ini terkesampingkan oleh program-program pembangunan, bisa terjangkau oleh model pembangunan partisipatif.

Ketiga, pembangunan partisipatif akan mendorong transparansi penggunaan dana desa, sehingga mempersempit celah bagi korupsi dan perburuan rente.

Keempat, pembangunan yang partisipatif akan memberdayakan warga desa, memajukan kesadaran politiknya, dan menguatkan kohesi sosial.

Semangat revisi UU Desa seharusnya bukan berhenti pada soal jabatan dan anggaran, tetapi soal pembangunan desa yang berpijak di atas daulat rakyat desa, yang meletakkan rakyat desa sebagai subjek pembangunan, dengan mempertimbangkan keunikan budaya dan potensi masing-masing desa.


*) Penulis : Rudi Hartono (Penulis Lepas, Peneliti, dan pendiri Paramitha Institut)

**) Tulisan ini telah di muat di Kompas.com, 12 Juli 2023

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close