Kepala Desa Banyuroto Magelang, Pelopor Penggunaan Biogas di Desa Tersebut / Foto: Kompas.com |
Desa tersebut terletak di lereng Merbabu, di Jalan Ketep-Kopeng KM 3. Desa ini dikelilingi oleh kebun stroberi dan lahan pertanian. Saat kami tiba di lokasi pada pukul 11.00 WIB, langit masih diselimuti kabut pegunungan. Sesekali, matahari muncul dari balik kabut menyapa kami.
Baru-baru ini, Desa Banyuroto meraih penghargaan Desa Mandiri Energi (DME) dalam Kategori Mapan. Selain itu, desa ini juga mendapatkan gelar Desa Program Iklim (Proklim) dalam Kategori Lestari, yang merupakan peringkat tertinggi di bidangnya.
Dari total 1.488 kepala keluarga (KK) di desa tersebut, 28 KK telah aktif menggunakan kotoran ternak menjadi biogas di rumah mereka.
Marwoto adalah salah satu warga yang telah memulai praktik ini dan terus melakukannya hingga saat ini. Sebagai seorang petani dan peternak, dia awalnya mengetahui inovasi ini dari kelompok tani yang dia ikuti, yaitu Poktan Karya Makmur.
"Pada awalnya, saya ikut program Prima Tani di balai desa. Kemudian, Prima Tani mengajukan penggunaan biogas," kata Marwoto ketika kami menemuinya di rumahnya di RT 009 RW 009 pada hari Selasa (4/7/2023).
Dia menceritakan bahwa sekitar tahun 2006, warga setempat masih banyak menggunakan kayu bakar untuk menyalakan kompor. Hal ini menyebabkan penurunan pasokan kayu karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga. Sebagian warga beralih menggunakan elpiji subsidi. Pada saat yang sama, muncul inisiatif untuk memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas. Desa tersebut memiliki sekitar 1.000 ekor sapi yang diternakkan oleh warga.
"Saya tertarik mencobanya karena dapat menghemat penggunaan elpiji dan limbahnya juga bisa digunakan sebagai pupuk kompos. Sebelumnya, limbah ini belum dimanfaatkan," kata Marwoto.
Marwoto, yang lahir pada tahun 1961, kemudian mempelajari proses pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Di bagian belakang rumahnya, terdapat kandang sapi. Dia memiliki tiga ekor sapi yang setiap harinya menghasilkan beberapa puluh kilogram kotoran padat dan cair.
Kandang tersebut didesain dengan kemiringan agar kotoran mudah mengalir ke bawah dan masuk ke lubang pengolahan biodigester.
Biodigester adalah alat yang digunakan untuk mengolah limbah organik seperti kotoran sapi menjadi biogas. Alat ini mengaduk kotoran yang masuk ke dalam lubang untuk mengekstraksi gas metan. Yang menarik, biodigester ini terpasang di ruang tengah rumah Marwoto. Alat ini memiliki panjang 4 meter dan ditutup dengan papan kayu dan plastik. Tanpa khawatir, dia menaruh tikar dan kasur di bagian paling luar. Setelah gas dari kotoran diekstraksi, biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pengganti kompor elpiji atau kompor kayu.
"Sebelum menggunakan biogas, kami menggunakan kayu bakar karena belum ada elpiji. Jadi, jika pasokan kayu kurang, kami menggunakan kayu, tapi jika sudah cukup, kami tidak perlu menggunakan kayu. Utamanya, kami menggunakan biogas," katanya. Dia merasa beruntung karena pada waktu itu dipilih untuk menerima bantuan biodigester.
Dia mengatakan bahwa program DME yang menggunakan kotoran sebagai bahan bakar sangat cocok dengan kondisi desa mereka yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan peternak.
"Manfaatnya sangat berlipat. Kami mendapatkan gas dan kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk padat dan cair. Kami tidak perlu membeli pupuk karena kami adalah petani di sini. Selama setahun ini, tanaman cabai kami diberi pupuk menggunakan kotoran, dan setiap minggu kami panen. Seperempat hektar tanah pupuk sendiri," ujarnya.
Selama bertahun-tahun penggunaan biodigester, dia tidak mengalami kendala atau kerusakan pada alat tersebut. Hanya kompor yang perlu diganti.
"Saya belum mengalami kesulitan. Semuanya berjalan lancar. Biodigester tidak mengalami kerusakan, hanya kompornya yang perlu diganti," jelasnya.
Berkat keberhasilannya, rumah Marwoto sering menjadi objek studi banding. Pada akhir pekan ini, dia bahkan menerima kunjungan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi sekaligus.
Desa Mandiri Energi
Kepala Desa Banyuroto, Yanto, menceritakan perjalanan desanya sejak tahun 2006 hingga saat ini, ketika desa mereka meraih penghargaan Desa Mandiri Energi dalam Kategori Mapan dan Desa Program Iklim (Proklim) dalam Kategori Lestari.
"Kami menjadi Desa Mandiri Energi sejak tahun 2021. Awalnya, kami berada di peringkat 4, tetapi pada tahun 2023 kami masuk ke dalam Desa Mandiri Energi Kategori Mapan (peringkat tertinggi). Sedangkan untuk Desa Proklim, pada tahun 2019 kami masuk dalam kategori utama, kemudian pada tahun 2022 naik ke tingkat kategori lestari," kata Yanto.
Pada awalnya, pada tahun 2006, Kelompok Tani Karya Makmur memiliki rencana untuk membangun laboratorium agribisnis. Munculnya inisiatif penggunaan biogas disebabkan oleh kebiasaan warga desa yang terus menggunakan kayu bakar untuk menyalakan kompor setiap hari. Mereka merasa khawatir terhadap kondisi hutan dan pepohonan di sekitar mereka. Oleh karena itu, mereka memasang sejumlah biodigester di beberapa rumah warga.
"Di desa ini terdapat banyak potensi ternak, sekitar 1.000 ekor sapi, yang selama ini hanya digunakan sebagai pupuk untuk kebun. Padahal, jika dikonversi menjadi biogas, bisa digunakan sebagai pengganti kayu bakar, sehingga kayu di hutan juga tetap terjaga," ungkap Yanto.
Yanto mengatakan bahwa warga desa yang sebagian besar memiliki hewan ternak sangat tertarik dengan instalasi biodigester untuk mengolah kotoran ternak menjadi biogas. Namun, mereka mengurungkan niat mereka karena biaya yang relatif mahal.
"Sebenarnya, masyarakat tertarik, tetapi terkendala oleh biaya. Biaya terendah untuk memasang biodigester adalah sekitar Rp 10 juta-Rp 15 juta, sehingga masih menjadi kendala," tuturnya.
Padahal, dari segi ekonomi, menurutnya setiap kepala keluarga dapat menghemat pengeluaran sekitar empat tabung elpiji atau setara dengan Rp 100.000 jika menggunakan biogas. Selain itu, penggunaan kotoran ternak sebagai bahan bakar juga merupakan bentuk tanggung jawab warga setempat karena kegiatan peternakan mereka menghasilkan gas metan. Oleh karena itu, program ini dianggap tepat bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam mengurangi pemanasan global dan krisis iklim.
"Saat ini, terdapat tiga jenis instalasi biodigester. Biodigester dengan ukuran terkecil berkapasitas 4 m3 dapat digunakan meskipun hanya memiliki satu ekor sapi, sedangkan biodigester dengan ukuran sedang berkapasitas 9 m3 setidaknya dapat digunakan untuk 3-4 ekor sapi, dan biodigester dengan ukuran terbesar berkapasitas 20 m3 membutuhkan kotoran dari lebih dari 5 ekor sapi," ujarnya.
Hingga saat ini, telah dipasang 18 unit biodigester yang tersebar di rumah-rumah warga di enam dusun, yaitu Banyuroto, Garon, Grintingan, Kenayan, Sobleman, dan Suwanting.
"Penggunaan biodigester paling banyak dilakukan di desa ini. Pada tahun ini, kami akan menambahkan 17 unit biodigester untuk dipasang. Pada awal masa jabatan saya sebagai Kepala Desa, saya menargetkan untuk melakukan instalasi 100 unit biodigester hingga tahun 2026, tetapi anggaran sempat terkendala oleh pandemi Covid-19," tutur Yanto.
Pembiayaan instalasi biodigester dibiayai melalui dana desa, bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah, dan bantuan dari Yayasan Rumah Negeri yang berasal dari pihak swasta.
"Kami sangat beruntung. Ketika kami mengikuti acara Desa Mandiri Energi, kami bertemu dengan Yayasan Rumah Negeri. Akhirnya, mereka bersedia membantu mensubsidi instalasi biodigester di rumah-rumah warga," kata Kepala Desa yang menjabat sejak tahun 2007 itu.
Yudi (40), seorang warga Dusun Garon, merasakan manfaat dari bantuan instalasi biodigester tersebut setahun setengah yang lalu. Ia menerima bantuan sebesar Rp 3 juta dari Yayasan Rumah Negeri, Rp 5 juta dari dana desa, dan menyisihkan biaya pribadi sebesar Rp 2 juta. Yudi menggunakan lahan seluas 2x4 meter di belakang kandang sapi untuk memasang biodigester. Oleh karena itu, alat tersebut dipasang di luar rumah. Gas hasil olahan dari biodigester disalurkan melalui pipa sepanjang sekitar 50 meter.
Dengan memasang biodigester berukuran terkecil, Yudi dapat menggunakan biogas tersebut untuk menyalakan dua unit kompor di rumahnya. Ia berharap warga lainnya juga dapat merasakan manfaat serupa dan menerima subsidi seperti yang dia terima.
Social Footer