Sambangdesa.com - "All Eyes on Papua" menjadi topik hangat di mana-mana. Mengapa Suku Awyu dan Suku Moi menolak hutan mereka diubah menjadi perkebunan sawit?
Tagar All Eyes On Papua muncul di berbagai platform media sosial, dari Twitter hingga Instagram dan TikTok. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak banyak orang, apa sebenarnya tujuan dari tagar ini?
Pada akhir Mei 2024, masyarakat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, dan masyarakat Suku Moi dari Sorong, Papua Barat Daya, melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta Pusat. Mereka didampingi oleh berbagai organisasi masyarakat sipil.
Kedatangan mereka ke Jakarta bertujuan meminta Mahkamah Agung membatalkan izin perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah mereka. Pembatalan izin ini tidak hanya akan memulihkan hak-hak masyarakat adat yang telah tercabut, tetapi juga berpotensi menyelamatkan hutan Papua.
Masyarakat Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). IAL telah mendapatkan izin lingkungan untuk 36.094 hektar lahan, yang sebagian besar merupakan bagian dari hutan adat marga Woro, Suku Awyu.
Menurut laporan Kompas.ID yang berjudul "All Eyes on Papua, How did the Awyu and Moi tribes save their forests?", gugatan Suku Awyu juga terkait dengan pemberian izin pemerintah kepada beberapa perusahaan untuk mengembangkan perkebunan sawit terbesar di Indonesia di hutan Papua melalui Proyek Tanah Merah. Proyek ini akan dijalankan oleh tujuh perusahaan, yaitu PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM."
"Selain mengajukan banding atas kasus PT IAL, masyarakat Awyu juga mengajukan banding atas gugatan terhadap PT KCP dan PT MJR. Kedua perusahaan ini sebelumnya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Di sisi lain, masyarakat Suku Moi, khususnya sub suku Moi Sigin, saat ini tengah menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan ini berencana membuka 18.160 hektar hutan adat Suku Moi untuk perkebunan sawit. Meskipun izin PT SAS telah dicabut oleh pemerintah pada tahun 2022, perusahaan ini mengajukan gugatan balasan ke PTUN Jakarta.
Oleh karena itu, Suku Moi datang ke Jakarta untuk terus melawan dengan menjadi tergugat intervensi di PTUN Jakarta. Mereka juga tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung."
Suku Awyu adalah masyarakat asli dari Boven Digoel, Papua Selatan. Sebagai informasi, mayoritas masyarakat Papua, termasuk Suku Awyu dan Moi, mengandalkan hutan dan tanah adat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka menggunakan hutan untuk berburu, berkebun, mencari sumber pangan, obat-obatan, serta sebagai ruang budaya, ekonomi, dan pengembangan pengetahuan.
Mengubah hutan Papua menjadi perkebunan sawit akan merusak fungsi dan daya dukung ekosistem alam.
Menurut Briefing Paper berjudul "The Awyu Trine: Suing the State, Defending Indigenous Forest (2023)" yang diterbitkan oleh Save Papua's Indigenous Forests Coalition, Suku Awyu adalah salah satu dari ratusan suku bangsa di Papua yang mendiami wilayah di Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Mereka berbicara dalam dialek Awyu dan tinggal di desa-desa yang terletak di sekitar sungai, lahan gambut, dan rawa, seperti Sungai Bamgi, Sungai Edera, Sungai Kia, Sungai Mappi, Sungai Pesue dan Asue, serta Sungai Digul.
Masyarakat Awyu dikenal sebagai masyarakat yang cinta damai, dan hal ini menjadi label sosial mereka. Kata "Awyu" berasal dari ungkapan lokal yang berarti "damai". Menurut cerita rakyat yang sama, pada masa perang suku, masyarakat Suku Awyu cenderung tidak memiliki keinginan untuk berperang, berbeda dengan Suku Jaghai, Asmat, dan Marind yang dikenal lebih agresif.
Suku Awyu sering bermigrasi dan menghindari konflik, sehingga mereka tersebar luas.
Sistem mata pencaharian masyarakat Awyu, yang meliputi berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, mengolah sagu, dan berkebun, masih dilakukan berdasarkan kearifan lokal. Mereka menggunakan alat-alat produksi tradisional dan mematuhi larangan serta sanksi adat (toto gundi nero).
Pola panen dan pembuatan tepung sagu dilakukan oleh kelompok keluarga, marga, atau kelompok anggota marga. Aktivitas mengumpulkan sagu biasanya dilakukan bersamaan dengan berburu, menangkap ikan, serta mengumpulkan bahan makanan, obat-obatan, dan lainnya.
Selama melakukan aktivitas ini, mereka sering tinggal di 'bivak' di dalam hutan selama beberapa hari. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk mewariskan pengetahuan kepada generasi muda mengenai sejarah hak atas tanah, sistem penghidupan dan budaya Suku Awyu, keterampilan berburu, mengolah sagu, dan lainnya.
Suku Moi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, juga tengah berjuang melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang menebangi 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40.000 hektar lahan di Kabupaten Sorong, namun pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha pada 2022.
Keputusan ini direspons oleh PT SAS dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Menurut laporan dari Indonesia.go.id, Suku Moi banyak mendiami Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Suku Moi terbagi menjadi tujuh subkelompok: Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya. Awalnya, mereka hanya mendiami Kampung Maladofok, sebuah kampung kuno sekitar dua kilometer di barat Desa Malaumkarta, Makbon.
Namun, setelah bencana alam, Suku Moi mengungsi ke daerah yang sekarang disebut Malaumkarta Raya, mencakup Desa Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi.
Sejak dulu, Suku Moi terbiasa melaut dan sampai sekarang perahu merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Perahu khas mereka memiliki susung, bangunan seperti rumah untuk melindungi diri dan barang dari hujan.
Perahu Suku Moi dibuat dari kayu selawaku asli tanah Moi, menjadi alat transportasi vital yang dirawat dan dihias dengan baik.
Selain laut, hutan adat juga sangat penting bagi Suku Moi sebagai sumber kehidupan dan cadangan pangan.
Menurut laporan Antara pada Kamis (19/5/2022), jika persediaan beras habis, masyarakat Moi masuk ke hutan untuk berburu dan mencari sayuran liar, sehingga kebutuhan pangan tetap terpenuhi meski persediaan beras menipis.
Karena pentingnya peran hutan, masyarakat adat Moi, terutama yang tinggal di wilayah Malaumkarta Raya, Kabupaten Sorong, sangat menjaga kelestarian hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
Social Footer