Ilustrasi Tanah Bengkok Desa / Foto: Ist. |
Sambangdesa.com - Anda pernah mendengar soal tanah Bengkok, Tanah Carik, Dan sebutan lainnya? Tanah Bengkok atau carik desa dapat dikatakan juga sebagai tanah jabatan hak pejabat desa atas wewenang untuk memungut hasil tanah itu selama memangku jabatan.
Tanah Bengkok atau carik desa ini dapat dipergunakan sendiri oleh kepala desa atau diberikan kepada masyarakat untuk dikelola.
Keberadaannya dilatarbelakangi oleh kuatnya adat istiadat, tradisi, serta sikap mental yang mengikat masyarakat guna mendorong untuk mengelola tanah tersebut secara bergotong royong. Setelah tanah tersebut memberikan hasil atau panen, maka hasilnya dibagi dua antara masyarakat yang menggarap dan dimasukan ke dalam kas desa. Kemudian pemasukannya diperuntukan untuk pembangunan desa dan juga kepentingan masyarakat.
Pembangunan yang terencana ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72/2005 Tentang Desa dan juga Peraturan Desa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanah Bengkok atau carik, merupakan aset desa yang pemanfaatannya digunakan sebagai kompensasi atas kedudukan mereka sebagai pamong desa.
Setelah berlakunya PP No.47/2015, pendapatan yang bersumber dari hasil pemanfaatan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan Kepala Desa dan Perangkat Desa selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dari APB Desa.
Namun dengan Terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2019, pengelolaan dan Pemanfaatannya berubah. Perubahan itu termaktub dalam pasal 100 dalam PP tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 pada perubahan ke-3 atas pasal 100 PP 43/2014, Ketentuan Pasal100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Belanja Desa yang ditetapkan dalam APBDesa digunakan dengan ketentuan:
a. paling sedikit 70% (tujuh puluh per seratus) dari jumlah anggaran belanja Desa untuk mendanai:
1. penyelenggaraan Pemerintahan Desa termasuk belanja operasional Pemerintahan Desa dan insentif rukun tetangga dan rukun warga;
2. pelaksanaan pembangunan Desa;
3. pembinaan kemasyarakatan Desa; dan
4. pemberdayaan masyarakat Desa.
b. paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggaran belanja Desa untuk mendanai:
1. penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya; dan
2. tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa.
(2) Perhitungan belanja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain.
(3) Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati/Wali kota.
Maka dari itu, jika disimpulkan secara singkat, dapat dipahami bahwa:
1. Bahwa penghitungan dengan perbandingan 70% dan 30% penggunaan APBDes itu tidak termasuk dana dari hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lainnya.
2. Bahwa tanah bengkok atau sebutan lainnya “dapat” dijadikan tambahan tunjangan kades dan perades dari hasil pengelolaannya, bukan tanah bengkoknya dikelola langsung.
3. Bahwa pengelolaan tanah bengkok itu harus dengan cara dilelang sewa secara terbuka dulu, hasilnya baru “dapat” digunakan untuk tambahan tunjangan kades dan prades.
4. Bahwa kades dan prades itu tidak boleh lagi menggarap tanah bengkok, melainkan harus diserahkan ke desa untuk dikelola dengan cara dilelang sewakan kepada masyarakat desanya.
5. Bahwa Perbup mengatur penggunaan hasil pengelolaan tanah bengkok, salah satunya cukup menentukan pedoman tata cara pengelolaan dan pemanfaatannya.
6. Bahwa Tanah Bengkok adalah merupakan bagian dari kewenangan desa, maka dalam menentukan besaran tambahan tunjangan dari hasil pengelolaan tanah bengkok ini diserah-aturkan pada Perdes dari hasil musdes dengan dikasih rambu berupa azas kepatutan dan keadilan.
7. Sebagai referensi Analogis: Besaran tambahan tunjangan kades dan prades dari hasil pengelolaan tanah bengkok yang Patut dan Adil dapat menggunakan analogi SILTAP, yaitu 100-75-50 prosen.
Berdasarkan keterangan di atas maka diperoleh kesiimpulan akhir bahwa:
1. Tanah bengkok tidak boleh lagi dikelola langsung oleh kades dan prades secara langsung dengan dalih hak asal usul.
2. Kades dan prades tidak lagi digaji dengan tanah bengkok, melainkan digaji dengan SILTAP yang sumber anggarannya dari APBD melalui dana transfer ADD.
3. Bila di desa anda tanah bengkok masih dikelola langsung oleh kades dan prades tanpa proses lelang sewa terbuka, anda bisa menggugat melalui BPD.
Social Footer